Sebelum menjadi jurnalis, saya, Jepri Sitanggang, gemar menulis berbagai kisah di laman Facebook. Dengan belajar secara autodidaktik, perlahan saya mulai paham menempatkan kata demi kata hingga terbentuk menjadi kalimat, kemudian belajar menempatkan huruf kapital dan tanda baca. Pada awal karier jurnalistik saya, istri saya turut membantu memperbaiki kesalahan tata bahasa dalam teks laporan yang akan saya kirim kepada redaksi media.
Sebenarnya waktu masih duduk di bangku SMP, saya bercita-cita menjadi pengacara, bukan wartawan, setelah terinspirasi melihat pengacara kondang Ruhut Sitompul di televisi.
Sesudah lulus SMA tahun 2003, saya mengadu nasib ke Kota Medan, Provinsi Sumatra Utara, dan bekerja di pabrik kayu selama setahun. Kemudian saya keluar dari pabrik itu karena tidak tahan sebagai buruh harian lepas yang tidak ada jaminan keselamatan kerja dan jaminan hari tua.
Setelah beberapa bulan menganggur, saya beralih profesi menjadi penyanyi di kelab-kelab malam di Medan. Saya bergabung dengan dua penyanyi bermarga Simbolon dari Samosir, dan kami menamakan diri Parnanta Trio. Memasuki usia satu tahun, grup ini bubar karena salah satu anggotanya pulang kampung. Kemudian ada penggantinya, dan kami membentuk grup baru, yaitu The Parna Trio. Setelah tiga tahun, kami bubar, dan saya kembali ke Kabupaten Samosir pada 2010.
Tahun 2015 di desa saya tinggal, saya terpilih menjadi ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Selama di BPD, saya menemukan berbagai masalah pemerintahan desa yang kurang tepat dan perlu dikritisi. Untuk itu, pada tahun 2018 saya menjumpai beberapa wartawan di Kota Pangururan, tetapi hanya dua di antara mereka yang memberitakan masalah desa yang saya sampaikan.
Kemudian saya pernah punya masalah pribadi dan harus menempuh jalur hukum. Karena posisi saya sebagai korban, dan saya masih awam berhadapan dengan aparat hukum, saya pun meminta bantuan berbagai pihak, termasuk wartawan. Saya menderita kerugian materi yang cukup besar dalam perkara saya itu. Hati saya memberontak, tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Itulah yang mendorong saya membaca aturan hukum. Saya juga membaca artikel tentang jurnalistik, seperti cara menulis berita, di internet, maka tahun 2018 saya memutuskan untuk menjadi wartawan.
Pertama kali saya diterima sebagai reporter di satu media televisi yang khusus menyiarkan kegiatan kepolisian. Hampir setiap hari saya mengirim berita kepada redaksi TV itu. Namun, setelah satu tahun, akhirnya saya keluar karena untuk memperpanjang surat tugas dan kartu pers, saya dimintai biaya oleh redaksi.
Selanjutnya, karena sudah mulai mencintai profesi wartawan, saya segera bergabung dengan satu media siber yang terbit di Kota Pematangsiantar. Di media ini saya sering berdebat dengan editor karena laporan saya tidak diterbitkan. Akhirnya saya pun berhenti.
Saya sempat menjadi wartawan di dua media lain sebelum kemudian saya mendirikan media siber bersama dengan seorang kawan. Media kami ini pada akhirnya tutup karena teman saya itu masuk penjara.
Pada tahun 2020 seorang wartawan di Samosir mengajak saya bergabung dengan media miliknya, sebuah media siber, dan saya dijadikan redaktur. Tak lama kemudian medianya ini pun otomatis tutup sendiri karena biaya perpanjangan nama domain, yang hanya sekitar Rp150 ribu per tahun, tidak dibayar.
Terakhir, dalam dua tahun ini saya menjadi reporter di sebuah media siber terbitan Medan untuk wilayah liputan Kabupaten Samosir. Sekarang saya bergabung di Batak Raya dengan posisi sebagai calon reporter di Samosir.
_____
Redaksi sengaja meminta siapa pun yang menjadi calon reporter BatakRaya.com untuk menulis autobiografi singkat. Hal ini penting bagi publik, konsumen media, agar mengetahui latar belakang penulis berita dan bahwa wartawan tersebut benar-benar ada, bukan fiksi. Saya sering melihat media siber terbitan berbagai kota di Indonesia yang mencurigakan. Nama-nama wartawan dalam susunan pengurus redaksinya semuanya hanya berupa nama pendek yang terdiri atas satu kata, seperti Anto, Rian, dsb.
Salam pers yang baik dan benar!
Hayun Gultom, pemimpin redaksi