Nainggolan, Batak Raya — Berdasarkan putusan pengadilan, Parlin Lumbanraja dan kawan-kawannya menang dalam gugatan perdata atas kepemilikan perkampungan Sosor Silulu seluas 6.000 meter persegi di Desa Pangaloan, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara. Kemudian mereka menyampaikan permohonan eksekusi ke pengadilan, yaitu eksekusi atas sepuluh rumah, termasuk empat rumah adat Batak, yang berdiri di tanah itu. Namun, menurut pihak tergugat, eksekusi tersebut salah alamat.
![]() |
Warga pihak tergugat di perkampungan Huta Silulu di Desa Pangaloan, Kecamatan Nainggolan. (Foto: Jepri Sitanggang) |
“Yang digugat Sosor Silulu, kenapa yang dieksekusi jadi Huta Silulu?” kata Asgat Lumbanraja, 59 tahun, salah satu pihak tergugat, kepada wartawan di Huta Silulu, Desa Pangaloan, Kecamatan Nainggolan, 23 April 2022.
Menurut dia, perkampungan Huta Silulu sudah ditempati selama empat generasi. Penduduk di sana juga masih tergolong keluarga dekat, termasuk dengan pihak penggugat.
Asgat Lumbanraja menyebutkan bahwa dalam kartu tanda penduduk (KTP) mereka, termasuk KTP kakek mereka, tertulis alamat “Huta Silulu”, bukan “Sosor Silulu”. Dia pun menunjukkan selembar kertas profil desa yang bertuliskan nama kampung “Huta Silulu”.
Permohonan eksekusi kampung Huta Silulu ini juga ditentang oleh warga lainnya, Monang Lumbanraja. Walaupun dia bukan salah satu tergugat, tanah yang diklaim miliknya juga masuk dalam 6.000 meter persegi dalam permohonan eksekusi. “Saya tidak ikut digugat. Kenapa tanah saya ikut dieksekusi?” katanya.
Monang Lumbanraja mengatakan tanahnya itu sudah pernah diperkarakan di pengadilan, yang dimenangkan oleh kakeknya pada tahun 1930. “Saya memiliki surat putusan pengadilan. Di situ tanah saya berbatasan dengan Huta Silulu, bukan Sosor Silulu,” katanya.