Langsung ke konten utama

Pastor Paroki Tomok Dimaki Wakapolres Samosir

Tomok, Batak Raya — Seorang pastor Katolik dimaki oleh Wakil Kepala Polres Samosir di jalan di desa wisata Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara, Kamis, 16 Juni 2022. Warga setempat menjadi saksi mata, termasuk ibu-ibu pedagang suvenir. Kepada Batak Raya Wakapolres mengaku salah bahwa dirinya memang menyebut “pastor gadungan.”

Wakapolres Samosir, Kompol Togap Lumbantobing, dalam persiapan menyambut Irwasum dan Kapolda Sumut di Puskesmas Ambarita, Kecamatan Simanindo, 16 Juni 2022. (Foto: Hayun Gultom)

Pemuka agama Katolik yang dikasari secara verbal itu ialah pastor Sabat Nababan, imam di Paroki Santo Antonio Maria Claret Tomok, yang membawahkan belasan gereja Katolik. Oknum perwira Polri yang memakinya ialah Kompol Togap M. Lumbantobing, orang nomor dua di Polres Samosir.

Menurut penjelasan pastor Sabat Nababan, yang diwawancarai Batak Raya pada Kamis siang di pastoran Paroki Tomok, dia mengalami perlakuan takpantas itu ketika aparat Polres Samosir melakukan pengamanan pada pagi harinya di jalan raya Tomok berhubungan dengan datangnya rombongan tamu dari Markas Besar Polri dan Polda Sumut di pelabuhan wisata Tomok. Saat itu polisi menghentikan kendaraan yang datang dari arah Pangururan, termasuk Pastor yang mengendarai sepeda motor.

Pastor sendiri sedang dalam perjalanan tugas ke Sibosur, Desa Hutaginjang, Kecamatan Simanindo, untuk perminyakan suci seorang jemaat yang sakit keras. “Perminyakan suci adalah sakramen terakhir untuk orang yang masih hidup, menjadi bekalnya ke surga. Itu takbisa ditunda,” katanya. Setelah dari Sibosur, dia masih harus ke Desa Lottung juga untuk perminyakan suci. Karena itu, Pastor mesti bercepat-cepat jangan sampai kedua jemaat itu meninggal sebelum sempat menerima perminyakan suci.

Ketika dihentikan polisi, Pastor mengatakan dirinya sedang terburu-buru, “Saya pastor. Saya perlu cepat, ada acara urapan minyak untuk jemaat saya yang sedang sekarat.” Kemudian Pastor membawa motornya pelan-pelan, tapi tiba-tiba dia dihentikan lagi oleh Wakapolres Samosir, Kompol Togap M. Lumbantobing.

“Pinggir! Pinggir!” kata Wakapolres. Pastor pun berhenti, dan Wakapolres langsung mencabut kunci sepeda motornya. “Kau arogan sekali kau. Kulihat dari tadi,” kata Wakapolres, seperti diceritakan Pastor kepada Batak Raya.

“Pak, saya pastor. Saya buru-buru, ada perminyakan suci,” kata pastor Sabat Nababan.

“Ini, bawa ini! Harus diproses ini,” kata Wakapolres kepada anak buahnya.

Pastor menstandarkan sepeda motornya, meletakkan tasnya di atas motor, membuka helmnya, lalu mendekati Wakapolres. “Pak, saya buru-buru harus menemui orang yang sakit keras. Saya ini pastor, Pak,” katanya.

Namun, Wakapolres tetap tidak memberikan kunci motor Pastor, dan bahkan dia memaki Pastor. “Macam-macam yang dia sampaikan saat itu,” kata Pastor.

“Kita sama-sama pelayan masyarakat, Pak,” kata Pastor membujuk Wakapolres, “tapi tidak harus seperti ini cara Bapak.”

Wakapolres membalas, “Kau tidak tahu saya siapa? Wakapolres saya, ya!”

“Saya pastor, Pak,” kata Pastor lagi untuk yang kesekian kali.

“Pastor gadungan kau!” kata Wakapolres.

Kemudian Pastor membuka jaketnya dan memperlihatkan jubah yang dipakainya. “Ini tas saya. Kenapa Bapak bilang saya pastor gadungan?” katanya kepada Wakapolres. “Saya mau melayani, Pak, kondisinya sudah emergensi. Sedangkan ambulans bisa didahulukan karena membawa orang sakit, tapi saya yang mau melayani orang sakit dihentikan. Saya tidak mengganggu, saya juga tidak menghalangi jalan.”

“Sudah, sudah!” kata Wakapolres, lalu membiarkan Pastor melanjutkan perjalanan.

Pastor Sabat Nababan diwawancarai Batak Raya di pastoran Paroki Tomok. (Foto: Hayun Gultom)

Puluhan orang warga Desa Tomok menyaksikan perlakuan kasar Wakapolres Samosir tersebut, dan salah satu dari kaum ibu menyampaikannya kepada Harry Bos Sidabutar, tokoh masyarakat yang juga pengurus gereja Katolik, “Tolong lihat, Pak, pastor kita dibentak-bentak polisi.” Lalu Harry Bos menemui Pastor yang sedang berbicara dengan Wakapolres. Tidak lama kemudian seorang polisi memasangkan kunci pada sepeda motor Pastor.

Kepada Batak Raya Harry Bos mengatakan takbisa menerima pastor mereka diperlakukan seperti tidak punya martabat. “Sudah, sudah, sudahlah!” kata Harry Bos, meniru ucapan Wakapolres kepada Pastor. “Bahasa apa itu? Apa dia pikir Pastor itu anak-anak? Luar biasa, bah!”

“Sudah banyak pejabat tinggi yang datang ke Tomok ini dengan berbagai model pengamanan dari petugas. Menteri, bahkan presiden, sudah datang ke sini, tetapi belum pernah masyarakat sampai dipermalukan hanya karena menurut mereka kurang tertib,” kata Harry Bos.

Dia menilai perbuatan Wakapolres tergolong penistaan terhadap imam Katolik. “Mungkin Pastor bisa memaafkan tindakan Wakapolres, tapi kami sebagai jemaat tidak bisa terima pastor kami disebut pastor gadungan,” kata Harry Bos Sidabutar. “Seorang pastor dimaki-maki, dibilang pastor gadungan. Polisi apa kayak gitu? Jangankan pastor, kita saja sebagai masyarakat biasa, orang tua di desa ini, tidak pantas dipermalukan seperti itu di depan umum oleh aparat.”

Beberapa kaum ibu pedagang suvenir di Tomok yang menjadi saksi mata juga bercerita kepada Batak Raya dan menyatakan protes atas perilaku Wakapolres kepada Pastor. “Aku HKBP, bukan Katolik, tapi mau menangis aku tadi melihat Pastor itu tangannya seperti gemetaran [saat dimaki Wakapolres],” kata seorang boru Sidabutar.

Saksi lain, boru Situmorang, mengaku berkata kepada Wakapolres, “Kalau orang itu nanti meninggal [sebelum sempat menerima perminyakan suci dari Pastor], apakah Bapak mau bertanggung jawab?”

Kata boru Situmorang kepada Batak Raya, “Perminyakan untuk orang sakit sama dengan marulaon nabadia. Biasanya kalau pastor sudah dipanggil, yang sakit itu berarti kondisinya sekarat. Makanya, kapan saja pastor dipanggil wajib datang, tidak bisa ditunda. Hujan deras tengah malam pun pastor wajib datang.”

Seorang ibu lainnya menegaskan bahwa Wakapolres berbicara takpantas kepada Pastor. “Memang kasar kali polisi itu. ‘Tidak tahu kau siapa saya? Wakapolres ini, ya!’ Tangannya itu kayak gini,” katanya sambil meniru gerakan Wakapolres saat memarahi Pastor.

“Buka maskermu! Memang kalau kau pastor, tidak bisa saya atur?” kata seorang ibu menimpali penjelasan kawan-kawannya.

Seorang ibu lainnya mengatakan Wakapolres tidak pantas memakai kata “kau” terhadap seorang pastor, karena biasanya aparat Polri yang bertugas di jalan raya menyapa pengendara dengan sebutan “Pak” atau “Bapak”.

Harry Bos Sidabutar, tokoh masyarakat Tomok. (Foto: Hayun Gultom)

Pada Kamis sore Batak Raya menemui Wakapolres Samosir, Kompol Togap M. Lumbantobing, yang sedang berada di kantor Polsek Simanindo, untuk meminta konfirmasi. Dia tidak membantah telah memaki pastor Sabat Nababan, dan dia menceritakan kejadian tersebut menurut versinya.

“Semua mobil sudah disetop, tapi bapak itu menerobos, padahal yang lain sudah berhenti,” kata Wakapolres. Kemudian dia berkata kepada Pastor, “Bapak dari tadi kuperhatikan kok nabrak jalur terus, sementara yang lain sudah pinggir.”

Pastor menjawab bahwa dirinya perlu cepat tiba di tempat tujuan. Lantas Wakapolres mencabut kunci sepeda motornya dan mengatakan, “Bapak harusnya tahan dulu. Kalau ada [kunjungan] pejabat kayak begini, masyarakat sudah maklum semua. Tapi Bapak menerobos terus. Kapolres saja sudah begini-begini dari mobilnya.” Menurut Wakapolres, pada saat itu Kapolres Samosir, AKBP Josua Tampubolon, sedang berada di dalam mobil patroli sembari menunjuk-nunjuk ke arah sepeda motor Pastor.

“Memang dia [Pastor] bilang, ‘Saya mau cepat, ada yang sakit.’ Tapi, kan, saya tidak tahu itu,” kata Wakapolres kepada Batak Raya.

Dia juga mengaku menyebut “pastor gadungan” kepada pastor Sabat Nababan. “Itu sebelum dia buka jaket. Dia, kan, pakai jaket, saya tidak tahu kalau dia adalah pastor. Kalau dia pastor, harusnya dia berhenti. ‘Kalau Bapak pastor, tapi disuruh kok tidak berhenti? Masyarakat saja semua sudah minggir.’ Itulah, memang saya bilang itu, karena saya enggak tahu. Lalu dia bukalah jaketnya. ‘Oh, ya, sudahlah,’ saya bilang,” kata Wakapolres.

Wakapolres mengatakan kepada Batak Raya bahwa dia akan menemui Pastor untuk minta maaf. “Sebagai yang merasa bersalah, sudah saya sampaikan juga kepada Tumbur [salah satu anggota Polsek Simanindo] agar disampaikan bahwa saya akan datang menemui Pastor. Sebenarnya kami mau ke situ. Tadi sudah disampaikan Tumbur kepada Suster rencana Wakapolres hendak menemui Pastor, tapi nanti setelah selesai tugas,” kata Wakapolres Kompol Togap M. Lumbantobing. ❑

Pembaruan pukul 14.53 tanggal 18 Juni 2022: pada tengah hari tadi Wakapolres mengirim beberapa foto kepada Batak Raya via pesan WhatsApp dan mengatakan dirinya “udah jumpai Pak Pastor.” Wakapolres juga meminta kepada Batak Raya agar “tolong, Lae, jangan dibesar-besarkan lagi. Mauliate, Lae.” Di bawah ini redaksi Batak Raya menambahkan dua di antara foto kiriman Wakapolres. (Hayun Gultom, pemred)

Pastor Sabat Nababan dan Wakapolres Samosir, Kompol Togap Lumbantobing. (Foto kiriman Wakapolres)

Foto kiriman Wakapolres kepada Batak Raya.

Pastor: [Batak Raya] Menunjukkan Kebenaran dari Fakta

Pembaruan pada 21 Juni 2022 pukul 14.08: pihak Polres Samosir sudah beberapa kali menemui pastor Sabat Nababan untuk meminta maaf. Bahkan, Kapolres Samosir, AKBP Josua Tampubolon, juga turut menjumpai Pastor, dan mereka melakukan tanya jawab dengan sejumlah wartawan, seperti yang tersiar dalam video YouTube (klik untuk menonton selengkapnya).

Dalam video tersebut pada menit 3:05 seorang wartawan bertanya apa saran pastor Sabat Nababan kepada media yang pertama (Batak Raya) memberitakan masalah ini. Pastor menjawab bahwa dia mempersilakan Batak Raya menulisnya.

Pastor Sabat Nababan: “Silakan, ini adalah kronologi, karena dia [Hayun Gultom, pemred Batak Raya] datang duluan bertanya kepada saya. Ini adalah tempat kita, media kita belajar dari situ. Tidak ada di situ memojokkan siapa. Saya baca itu, karena itu konfirmasi. Benar seperti itu, dikonfirmasi ketiga belah pihak… [para saksi mata, yaitu warga Tomok; pelaku, yaitu Wakapolres; dan korban, yaitu Pastor]. Beritanya, faktanya itu, enggak usah kita tutupi. Faktanya seperti itu. Tapi, hikmahnya apa untuk kita? Apakah kita harus selalu melempar kesalahan dan mempersalahkan? […] Persoalan saya dengan Pak Tobing selesai… [Berita Batak Raya] menunjukkan kebenaran dari fakta. Oke, tapi itu menjadi media belajar. Saya tidak salahkan [Batak Raya]. Tidak usah [jangan] dikatakan dihapus itu [berita Batak Raya]…”

Pada menit 8:58 Kapolres AKBP Josua Tampubolon mengatakan, “Kepada masyarakat, khususnya umat Katolik, saya atas nama pimpinan sudah mengucapkan mohon maaf… Kepada masyarakat umum, saya mengimbau supaya terkait berita-berita yang tidak sesuai lagi, contohnya yang disampaikan Pak Pastor, hari Kamis ini sudah selesai. Jadi, jangan lagi terpengaruh atau terpancing dengan berita-berita yang memprovokasi. Itu dari kami. Terima kasih.”

Pembaruan ketiga, 21 Juni 2022 pukul 17.24: tanggal 20 Juni 2022 Pastor mengatakan dalam siaran persnya, “Jangan kita saling menyalahkan di sini. Mari kita belajar bersama kalau mau lebih baik. Terima kasih atas berita [Batak Raya] itu sehingga kita banyak mengetahuinya. Tapi, yang tidak diketahui adalah bagaimana saya dengan Pak Tobing malam itu. Itu, kan, tidak diketahui orang maka hari Sabtu itu [pertemuan] diulang.”

Pada 16 Juni malam Wakapolres datang ke rumah Pastor untuk minta maaf. Dia datang bersama dengan seorang wartawan, tapi hasil pertemuan itu tidak ada muncul dalam berita media mana pun.

Terkait dengan komentar publik di media sosial yang mengatakan kejadian tanggal 16 Juni, tapi kenapa berita baru terbit pada tanggal 18 Juni, berikut penjelasan redaksi Batak Raya.

Di akhir wawancara dengan Wakapolres pada hari kejadian, Batak Raya mengatakan, “Kalau nanti Bapak jadi minta maaf kepada Pastor, kabari saya lewat telepon. Kalau hari ini tidak sempat, saya tunggu sampai besok.” Maksud Batak Raya ialah agar hasil pertemuan tersebut juga langsung terbit dalam berita di atas. “Ya, Lae,” jawab Wakapolres.

Namun, hingga besoknya, 17 Juni, tidak ada kabar lanjutan dari Wakapolres. Karena itu, pukul 15.55 pada hari yang sama Batak Raya mencoba menghubungi ponsel Kapolres AKBP Josua Tampubolon, tetapi tidak direspons. Batak Raya mengecek nomor tersebut kepada wartawan lain, dan ternyata benar itu nomor Kapolres.

Malam harinya Batak Raya mencoba menghubungi Harry Bos Sidabutar, salah satu warga Tomok yang menjadi narasumber dalam berita di atas. Dia mengatakan tidak mengetahui apakah Wakapolres jadi menemui Pastor. Akhirnya, pada 18 Juni pagi berita ini pun terbit di Batak Raya.

Sekitar dua jam setelah berita terbit, Wakapolres mengirim pesan dan foto kepada Batak Raya, seperti yang sudah kami cantumkan dalam pembaruan pertama di atas. (Hayun Gultom, pemred)

iklan

iklan

Postingan populer dari blog ini

Ayah Bupati Samosir: Harusnya Saya Dikonfirmasi, Bukan Bupati

Pangururan, Batak Raya — Wartawan bercekcok mulut dengan Ober Gultom, ayah Bupati Samosir, dalam grup WhatsApp. Lantas ketua organisasi media siber menyurati Bupati untuk konfirmasi. “Jadi, kalau nanti ada keluarga saya berdebat dengan mereka, lalu saya juga yang dikonfirmasi? Wah, keterlaluan!” kata Bupati Vandiko Gultom. Ober Gultom, ayah Bupati Samosir, Vandiko Gultom. (Foto: arsip pribadi) Dalam beberapa hari terakhir ini sejumlah media siber di Provinsi Sumatra Utara memberitakan Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Samosir, Tetty Naibaho, yang mengirim surat konfirmasi bertanggal 30 Mei 2022 kepada Bupati Samosir, Vandiko Gultom, tentang ayahnya sendiri, Ober Gultom, yang berbantah dengan wartawan di sebuah WhatsApp group (WAG) bernama Samosir Negeri Indah (SNI). Dalam surat yang juga ditujukan kepada Sekda Kabupaten Samosir itu Tetty menulis, “… Saudara Ober Gultom yang memberikan komentar terkait pemberitaan ‘Sampah di TPA’ dengan mengusulkan salah seorang tena

Membongkar Kejanggalan Berita Polisi dan Forensik “Bripka Arfan Saragih Bunuh Diri”

LAPORAN MENDALAM, BATAK RAYA—Polisi merilis informasi bahwa Bripka Arfan Saragih mati bunuh diri dengan minum sianida terkait dengan kasus korupsi miliaran rupiah di Samsat Pangururan, Samosir, Sumatra Utara. Batak Raya menelaah keterangan polisi dan dokter autopsi, juga penjelasan ahli forensik digital, kemudian melakukan penelusuran dan verifikasi ke pelbagai pihak. Hasilnya, beberapa informasi versi aparat patut dicurigai karena mengandung kejanggalan, yang bisa mengarah ke dugaan pengacara keluarga Arfan bahwa polisi berusia 36 tahun itu sengaja dibunuh untuk memutus mata rantai pengungkapan kasus korupsi sejak 2018 di Samsat Pangururan. Berikut hasil reportase mendalam Batak Raya , yang boleh Anda bagikan ke media sosial, atau dikutip ke media siber. Selamat membaca. Tempat kejadian perkara di objek wisata Bukit Gonting difoto pada Jumat, 31 Maret 2023. Lokasi sepeda motor Bripka Arfan (markah 1) terlihat dari jalan. Lokasi mayatnya ditemukan (markah 2) terhalang batu besar. (Foto

Sipalangnamora dan Datu Tambun

Riwayat Raja Sipalangnamora, nenek moyang marga Gultom, dan kisah salah satu putranya, Datu Tambun, pernah saya tulis bersama dengan wartawan Ramses Simanjuntak (almarhum) dalam dua artikel berjudul “Sipalangnamora dan Lima Kendi” serta “Sipalangnamora yang Kaya, Datu Tambun yang Sakti” dalam tabloid Pos Roha pada Juni 2015. Sebagian isi kedua tulisan itu diterbitkan ulang di Batak Raya seperti berikut. Keturunan Raja Sipalangnamora Gultom menziarahi pusara Sipalangnamora dan keempat putranya di Onanrunggu, Samosir, pada 2015, dan kemudian membangun kuburan leluhur mereka itu. (Foto: tabloid Pos Roha/reproduksi) Kata batak , dengan huruf b kecil, dalam ragam bahasa sastra memiliki makna ‘petualang’ atau ‘pengembara’, dan kata turunan membatak berarti ‘bertualang’ atau ‘mengembara’. Klan besar Gultom juga melanglang hingga beranak pinak di pelbagai wilayah, seperti halnya marga Batak Toba yang lain. [Baca juga: Miranda Gultom Bicara Marga, Gelar Sarjana, dan Suara Keras Orang Batak