Langsung ke konten utama

Mantan Ketua DPRD yang Miskin dan Banyak Utang

Jhony Naibaho konsisten menjaga muruah PDI Perjuangan. Megawati golput, dia pun ikut golput. Sepuluh tahun sebagai wakil rakyat, dia teguh pada idealisme demi pesan ibunya “sotung dijaloho jambar sian toru ni rere.” Diejek bodoh karena taksuka menyelewengkan jabatan untuk mencari harta, tapi “sedikit pun saya tidak menyesal.” Dia berpesan agar bendera PDIP dipasang kelak pada peti matinya.

Jhony Naibaho menghadiri perayaan HUT ormas KoMPaS di Pangururan, Jumat pekan lalu. FOTO: JARAR SIAHAAN

Pemimpin redaksi Batak Raya, Hayun Gultom, duduk dengan saya di warung di seberang markas Polres Samosir di Pangururan, Selasa, 4 Juni 2024. Beberapa menit kemudian, orang yang kunantikan datang: Jhony Naibaho, politikus berusia 62 tahun, yang kali terakhir bersemuka denganku sekitar sepuluh tahun silam.

Kami berdua pun berjabat tangan dan baku peluk. Lalu kami duduk dan berbasa-basi sekejap, saling menanya keberadaan kawan-kawan lama.

Tidak lama berselang, saya berdiri untuk membeli satu bungkus sigaret keretek. Tapi, selagi saya hendak membayar, Jhony berkata kepada yang empunya warung, “Catat saja, nanti saya bayar.”

Itulah kali pertama Jhony mentraktirku sejak saya mengenalnya tahun 1999, semasa dia menjadi anggota DPRD Kabupaten Toba Samosir.

Tempo itu, selaku wakil rakyat dari Samosir, dia sering kuinterviu untuk koran dalam jaringan Jawa Pos, karena dia gigih mencela Pemkab Toba Samosir yang selalu menganaktirikan Pulau Samosir dalam hal anggaran pembangunan.

“Semua liputan itu kutulis bukan karena amplop,” kataku kepada Hayun Gultom, setelah kami bertiga berada di rumah Jhony untuk wawancara khusus. “Dulu di Balige, Lae Jhony tidak kasih amplop atau uang minum untuk wartawan.”

“Benar, itu benar,” kata Jhony menyambut, “karena saya dan Binsar juga tidak pernah minta-minta proyek dari Pemkab.”

Pada masa itu, awal Orde Reformasi, gaji anggota DPRD Toba Samosir amat minim, hanya beberapa juta rupiah, bukan dua puluhan juta seperti sekarang. Makanya, Jhony dan Binsar Sidabutar, rekan separtainya di Dewan, takmampu mengamplopi jurnalis.

Jhony Naibaho dibawa ke hotel menghadap “Ketua”

Tahun 1982, Jhony muda sudah menjadi simpatisan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tatkala merantau ke Jakarta untuk kuliah. “Ketua umum masih Prof. Sunawar Sukowati,” katanya.

Pada 1987, setelah pulang kampung, tiba-tiba dia diangkat menjadi Komisaris PDI Kecamatan Pangururan. Beberapa bulan kemudian, dia naik pangkat menjadi fungsionaris DPC PDI Kabupaten Tapanuli Utara untuk menggantikan salah satu pengurus yang meninggal.

Waktu itu usia Jhony Naibaho baru 25 tahun. “Saya direkrut dari jalanan,” katanya. “Saya gembel di tempat biliar. Rambut gondrong, kurus, muka tirus.”

Suatu siang pada tahun 1987 itu, ketika Jhony tidur-tidur di tempat biliar di Pangururan, seorang pria asing mendatanginya: “Lae ditunggu Ketua di hotel.” Lantas Jhony dibawa menghadap Ketua di sebuah kamar hotel yang jaraknya cuma sepelempar batu.

Si Ketua, yang usianya jauh lebih tua, berkata kepada Jhony: “Minggu depan kita mau bikin perayaan ulang tahun PDI di Pangururan. Kau siap?”

“Kau akan menjadi Korcam PDI Pangururan dan sekaligus ketua panitia. Siap, tidak?” tanya si Ketua, yang tidak lain tidak bukan L.M. Sinaga, Ketua DPD PDI Provinsi Sumatra Utara.

Tanpa berpikir panjang, Jhony mengiakan. Dia mengaku sanggup menghadirkan 750 warga dari sejumlah kecamatan di Samosir untuk meramaikan milad PDI.

Dengan biaya cuma Rp1,7 juta dari Ketua, Jhony pun nekat mengadakan pesta ulang tahun PDI di Pangururan.

Dia mengundang kapolsek, danramil, camat, pengurus Golongan Karya, dan tokoh masyarakat; dan memang mereka hadir lebih awal. “Padahal mereka cuma mau memata-matai,” kata Jhony.

Akan tetapi, 750 massa yang dijanjikan Jhony belum juga berdatangan. “Saya sudah mulai keringat dingin,” katanya. “Dari dulu saya paling takut soal uang. Nanti dikira saya makan itu uang.”

Untunglah satu mobil penumpang datang dari Kecamatan Palipi membawa warga pendukung PDI. Air muka Jhony pun semringah melihat sejumlah pria duduk di atap mobil itu, yang “mungkin karena tidak muat di dalam. Mantap ini, bakal ramai ini,” Jhony berbatin.

Setelah mobil berhenti di tempat acara, Jhony melihat takada satu orang pun penumpang di dalamnya. “Ternyata cuma yang duduk di atap mobil, ha-ha-ha,” katanya.

Hingga acara dimulai, total hadirin tidak lebih dari 150 orang. Itu pun sudah termasuk pejabat muspika Pangururan, pengurus PDI Tapanuli Utara, dan pengurus PDI Sumatra Utara.

“Karena sudah kupesan 750 nasi, 750 kopi, ada undangan yang pulang membawa lima atau sepuluh bungkus nasi,” kata Jhony.

Seusai acara, Jhony mengaku salah kepada L.M. Sinaga. “Ompung, mohon maaf, saya mundur. Saya gagal, ternyata cuma sedikit yang hadir.”

Tetapi si Ketua justru memuji Jhony telah berhasil. “Dulu kami bikin pertemuan di Porsea, ketuanya minta biaya Rp3 juta, tapi sepi, tidak ada yang menyambut kami. Ketua korcamnya pun tidak hadir,” kata Sinaga. “Ini cuma Rp1,7 juta kauminta, sudah kaubikin umbul-umbul, hadir camat, hadir kapolsek. Semua makan dan minum. Nilai plus satu untuk kau.”

Tiga tahun kemudian, pada 1990, Jhony Naibaho membawa massa dengan dua kapal, yang biayanya dia minta dari ibunya, untuk mengikuti helat PDI di Balige, yang dihadiri Megawati Soekarnoputri.

Tahun berikutnya, ketika Guruh Soekarnoputra datang ke Pematangsiantar, Jhony kembali membawa rombongan dan pemain musik uning-uningan dari Samosir dengan biaya sendiri. Ketua PDI Tapanuli Utara, A.B. Silalahi, memuji inisiatif Jhony itu. Begitu juga Ketua PDI Sumut, L.M. Sinaga, kembali mengacungi jempol. “Nilai plus dua untuk kau,” katanya kepada Jhony.

Fanatisme Jhony Naibaho untuk PDI terus bertumbuh, dan idealismenya pun makin berurat berakar.

Setelah makin paham politik, dia dipercaya menjadi caleg PDI untuk DPRD Tapanuli Utara pada pemilu 1992. Dia berada pada nomor urut 12.

Binsar Sidabutar: Cuma kita berdua yang bukan lomok-lomok

Pada pemilu 1997, Megawati bersikap golput, tidak menggunakan hak suaranya, karena berseberangan dengan pengurus PDI pimpinan Soerjadi, yang didukung Presiden Soeharto. Tapi Megawati membiarkan pengikutnya mencoblos di bilik suara, asalkan tidak memilih PDI.

Jhony Naibaho mengikuti sikap golput Megawati itu. Meski demikian, dia menitip rekan-rekannya di Samosir kepada pengurus Golongan Karya.

Selama konflik PDI Megawati versus PDI Soerjadi, Jhony berjuang keras untuk kubu Megawati. Bahkan, “Orang yang membesarkan saya, guru politik saya, A.B. Silalahi, kuusir dari Samosir. Saya bubarkan acaranya di Tano Ponggol. Itu terpaksa kulakukan, dan saya sangat menyesal,” katanya. Kala itu A.B. Silalahi, Ketua PDI Tapanuli Utara, berada di kubu Soerjadi.

Setelah rezim otoriter Soeharto tumbang pada 1998, PDI Perjuangan berdiri dan menang suara dalam pemilu 1999. Jhony Naibaho juga terpilih jadi anggota DPRD Toba Samosir. “Kami 14 orang di Fraksi PDIP dari 35 anggota DPRD Tobasa,” katanya.

Tapi, kendatipun PDIP menjadi fraksi terbesar di DPRD Toba Samosir, suaranya tidak solid. Mereka mencla-mencle dan koruptif.

Contohnya, pada pilkada Toba Samosir tahun 2000, yang masih bersistem tertutup, calon bupati dari PDIP kalah dengan raihan cuma delapan suara.

Tahun demi tahun berikutnya, makin banyak pula anggota Fraksi PDIP merapat kepada Bupati Sahala Tampubolon. Namun, Jhony dan salah satu sejawatnya, Binsar Sidabutar, tetap bersiteguh pada prinsip partai.

“Di tahun kelima, tinggal saya dan Binsar,” katanya. “Kami berdua menjumpai Ketua DPRD, Bonatua Sinaga, mendesak dia agar meneken usulan pembentukan Kabupaten Samosir.”

Selaku wakil rakyat dari Samosir, Jhony dan Binsar berikhtiar habis-habisan membela kepentingan masyarakat Samosir. Dalam pembahasan APBD setiap tahun, keduanya terus-menerus memprotes minimnya anggaran pembangunan untuk wilayah Samosir.

Saya masih ingat bagaimana Jhony dan Binsar sampai-sampai menangis ketika berpidato menyampaikan tanggapan dalam sidang paripurna DPRD Toba Samosir; tetapi, jahanamnya, beberapa legislator lain malah tersenyum mengejek; dan itu kutuliskan dalam liputan surat kabar.

“Benar, waktu itu anggaran sangat timpang,” kata Jhony, yang taksuka pakai jas semasa berkantor di DPRD Toba Samosir. “Pernah [anggaran APBD] untuk Samosir tidak sampai Rp1 miliar, itu pun hanya di satu kecamatan. Saya lupa, mungkin Nainggolan atau Onanrunggu.”

Terkait dengan ketakadilan pembangunan itu, Jhony Naibaho dan Binsar Sidabutar selalu menolak laporan pertanggungjawaban (LPJ) Bupati Toba Samosir setiap tahunnya. “Dari jumlah suara, kami berdua sudah pasti kalah. Tapi demi nama baik partai,” katanya.

Pada era itu, muncul sindiran dari kalangan Pemkab Toba Samosir bahwa anggota DPRD tidak punya harga diri, karena mudah dijinakkan dengan membeli suaranya seperti halnya membeli lomok-lomok, daging ternak babi.

“Binsar pernah mengatakan kepada saya, ‘Berarti sekarang hanya kita berdua yang bukan lomok-lomok.’ Dan memang kami berdua tidak pernah merasa menyesal. Malah bangga,” kata Jhony. “Apalagi dengan berhasilnya pembentukan Kabupaten Samosir.”

Jhony Naibaho diberi “uang sembah” agar bersedia menjadi calon ketua DPRD Samosir

Setelah Kabupaten Samosir diresmikan pada Januari 2004, Jhony Naibaho kembali mengikuti pemilu legislatif pada tahun yang sama, dan dia berhasil meraih kursi di DPRD Samosir. Kemudian, dari 2005 sampai 2010, dia menjadi ketua DPC PDI Perjuangan di tanah kelahirannya itu.

Dalam pemilu 2004, karena hanya beroleh tiga kursi di DPRD Samosir, PDIP tidak mencukupi syarat membentuk fraksi sendiri. Akan tetapi, percaya atau tidak, terjadi anomali politik: Fraksi Golkar dan sejumlah anggota Dewan non-PDIP justru memaui Jhony menjadi ketua DPRD.

Mereka yakin Jhony akan amanah dan takkorup menjalankan tugas pimpinan Dewan. Mereka pun berusaha keras membujuk dia. Bahkan, ada di antaranya yang memberi “uang sembah” kepada Jhony agar bersedia maju sebagai calon ketua, yang akan dipilih para wakil rakyat dalam sidang paripurna. Padahal, lazimnya dalam perpolitikan Indonesia, calon ketualah yang “perlu” menyogok anggota DPRD.

“Sudah rahasia umum kalau mau jadi ketua Dewan harus keluar duit. Tapi waktu itu saya malah untung Rp28 juta,” kata Jhony. “Ada kira-kira delapan orang menyawer saya. Ada yang kasih Rp2 juta, Rp3 juta, seperti Lindon, Ganda, amani Helda, Lundak.”

Ketaklaziman ini bahkan mendapat perhatian dari salah satu pengurus DPP PDIP, Emir Muis, dalam acara internal partai di Medan, yang dihadiri para anggota DPRD dari PDIP di semua daerah se-Sumatra Utara.

Emir kaget dan kagum mendengar bagaimana Jhony bisa menjadi ketua Dewan tanpa mengeluarkan duit serimis pun. Lalu Emir memberikan kartu namanya kepada Jhony dan berpesan, “Kalau Pak Jhony ke Jakarta, tolong hubungi saya.”

“Saya tidak ada keluar biaya menjadi ketua, jadi kenapa mesti berpikir untuk korupsi?” kata Jhony kepadaku dalam wawancara di rumahnya.

“Saya tidak mau menerima yang bukan hak saya,” katanya. Seandainya dulu koruptif selama menjabat ketua DPRD Samosir dan anggota DPRD Toba Samosir, “minimal saya sudah bisa setengah kaya, ha-ha-ha.”

Prinsip Jhony ini juga sesuai dengan petuah ibunya ketika dia menjadi anggota DPRD Toba Samosir lima tahun sebelumnya.

Saat itu, pada hari pelantikan dia sebagai wakil rakyat, ada banyak bunga ucapan selamat dan parsel di ruang tamu rumah orang tuanya, tempat dia tinggal sejak dahulu sampai hari ini. Ada pula amplop berisi uang dari pengusaha dan bakal calon Bupati Toba Samosir.

Lantas Jhony mengatakan kepada ibunya bahwa dia akan mengembalikan semua uang ibunya yang dia pakai untuk keperluan aktivitas politiknya sejak dahulu. Tapi ibunya, boru Sitanggang, membalas, “Sampai kapan pun kau tidak akan bisa mengganti semua uangku yang sudah habis untukmu. Tidak usah pikirkan itu, aku sudah ikhlas.”

Kemudian, dengan nada bicara yang sungguh-sungguh, ibunya mengucapkan satu pesan sederhana kepada Jhony:

Dengganma bahen ulaonmu, jala sotung dijaloho jambar sian toru ni rere.” Bekerjalah dengan baik, dan jangan terima uang dari jalan yang tidak sah (korupsi).

Ibunya juga mengatakan agar Jhony “jangan takut kayak bapakmu [karena menjadi anggota Golkar semasa hidupnya]. Lawan terus. Mainkan. Pokoknya kau harus PDIP.”

Jhony selalu mengingat dan menuruti nasihat ibunya itu selama sepuluh tahun menjalankan tugasnya selaku wakil rakyat. “Dan ibuku sangat-sangat mendukung [saya menjadi orang idealis],” katanya.

Makanya, sewaktu memimpin DPRD Samosir, dia tidak mau melobi pejabat eksekutif agar memberikan proyek kepada konco-konconya.

Tidak sedikit pula orang menyebut dia bodoh karena enggan memanfaatkan jabatan ketua Dewan untuk kepentingan pribadinya. Namun, ada juga yang membelanya, “harus begitulah wakil rakyat yang benar.”

Dalam menjalankan tugas sehari-hari selaku ketua DPRD, Jhony hanya ditemani seorang sopir, dan dia menolak fasilitas ajudan pribadi maupun penjagaan rumah oleh Satpol PP.

Di luar jam kerjanya, dia sering duduk nongkrong di kedai kopi dengan bercelana pendek dan mengobrol dengan warga Samosir. “Untuk mengubah pola pikir kawan-kawan agar tidak merasa hebat kalau sudah menjadi anggota Dewan. Kami ini, kan, sebenarnya cuma wakil rakyat,” katanya.

Di gedung DPRD Samosir pun begitu, dia taksuka dipanggil terlalu protokoler dengan sapaan “Ketua.” Dia lebih senang ditegur dengan sebutan seturut kultur Batak, seperti Lae, Ito, Tulang, dan Amangboru.

“Status sosial bisa berubah, tapi kepribadian tidak,” kata Jhony. “Dulu saya gembel, jadi ketua Dewan, tapi kepribadian saya tidak berubah.”

Menurut dia, watak politikus yang merakyat juga sesuai dengan arahan Megawati, pemimpin partainya. “Dalam pembukaan rakernas kemarin, Ibu Mega berpesan kader PDIP harus mantap, tidak goyang-goyang. Mantap idealisme, kesetiaan, militansi. Sampai tiga kali kutonton video pidato Bu Mega itu,” katanya.


“Walaupun menjadi orang idealis itu sakit, langsung hilang sakitku selama ini setelah mendengar pidato Bu Mega. Wah, ini kena sekali sama saya.”


Jhony Naibaho, yang bukan kader karbitan, yang membangun karier politiknya dari nol di PDI dan PDIP, mengakui bahwa sering juga dia merasa takpuas dalam berpolitik. Adakalanya dia merasa kecewa dengan kebijakan partainya.

“Tapi di partai mana pun sama saja, pasti akan ada kekecewaan. Tidak ada yang nyaman seratus persen. Makanya, saya tidak mau pindah-pindah partai,” katanya.

Ayah Vandiko Gultom melobi Jhony Naibaho menjadi calon wakil bupati

Sekarang, di PDI Perjuangan Kabupaten Samosir, Jhony Naibaho hanya terdaftar sebagai anggota, tidak lagi menjadi pengurus. Meski begitu, beberapa hari lalu dia mendapat kepercayaan dari Ketua PDIP Sumatra Utara, Rapidin Simbolon, untuk terlibat dalam pilkada Samosir tahun 2024.

Kini Jhony sudah kembali turun gunung untuk berpolitik praktis. Dia ditugasi membentuk tim pemenangan Freddy Situmorang, yang sudah mendaftarkan diri ke PDIP sebagai bakal calon Bupati Samosir.

Rapidin menggadang-gadang Freddy untuk mengalahkan Vandiko Gultom, petahana Bupati Samosir, dalam pilkada yang akan datang. Rapidin sendiri punya dendam politik kepada Vandiko, karena pada pilkada silam orang tua Vandiko berusaha menarik Jhony Naibaho dari kubu Rapidin.

“Dia berusaha merekrut Jhony agar keluar dari Rap Berjuang. Itu praktik berpolitik yang tidak beretika,” kata Rapidin kepada sejumlah wartawan, termasuk pemred Batak Raya, Hayun Gultom, pada 2023 di Hotel Dainang, Pangururan.

Akan tetapi, untungnya, “Pak Jhony Naibaho adalah kader PDI Perjuangan dan manusia yang idealis,” kata Rapidin Simbolon, yang terpilih menjadi anggota DPR pada pemilu lalu.

Cerita Rapidin itu pun disungguhkan oleh Jhony. “Memang saya tolak, karena bukan PDI Perjuangan yang mengusung Vandiko,” kata Jhony kepada saya dan Hayun.

Jhony mengatakan Ober Gultom, ayah Vandiko, datang bersama dengan Vandiko dan tim suksesnya ke rumah Jhony. Berkali-kali mereka membujuk agar Jhony sudi menjadi pasangan Vandiko. Tapi Jhony menjawab, “Saya perlu berdoa lebih dulu.”

Besok paginya, anggota tim sukses Vandiko kembali datang. “Untuk menagih hasil doa,” kata Jhony.

Lalu Jhony menjumpai Rapidin dan bercerita soal lobi politik dari kubu Vandiko. Mendengar kabar itu, terang saja Rapidin tidak setuju.

“Apa pun itu, kita harus tetap bersama,” kata Rapidin kepada Jhony.

Tidak lama kemudian, sejumlah kader PDIP Samosir datang ke rumah Jhony untuk menyatakan sikap penolakan apabila dia menjadi calon wakil bupati pasangan Vandiko.

“Saya mantan ketua DPRD yang punya banyak utang”

Saat ini Jhony Naibaho masih menempati rumah peninggalan orang tuanya di Pangururan, sedangkan kedua putrinya dengan istrinya, yang bekerja sebagai dokter, tinggal di Jakarta.

Jhony tidak memiliki mobil pribadi, bahkan sepeda motor pun takada. “Memang saya miskin. Saya tidak malu mengakuinya. Tapi walaupun faktanya saya miskin, saya tidak pernah merasa miskin,” katanya.

Dia menceritakan bahwa abang kandungnya sendiri di Jakarta pernah mengkritik dirinya karena tidak berharta. Kala itu, pada musim pemilu legislatif 2004, dia tidak mengisikan harta apa pun dalam formulir Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

“Masak kau tidak punya apa-apa selama lima tahun di DPRD Tobasa? Satu kereta pun kau tidak punya?” tanya abangnya.

“Memang tidak ada,” jawab Jhony. “Saya tidak mau terima jambar sian toru ni rere, seperti yang diajarkan ibu kita.”

Lantas, karena prihatin kepada Jhony si politikus miskin, abangnya menyuruh Jhony mencantumkan rumah orang tuanya dan mobil ibunya, yang dulu dibeli abangnya, ke dalam LHKPN.

Abangnya pun berpesan agar Jhony berpikir ulang sebelum meneruskan idealisme secara total. “Tapi yang ianya, tetap saja prinsip saya tidak berubah sampai sekarang,” kata Jhony. “Saya sangat bangga bisa mempertahankan idealisme saya sejak 1987 sampai sekarang.”

“Mungkin hanya sayalah mantan ketua DPRD yang punya banyak utang, tapi tidak pernah ditagih. Mereka pikir, ‘Belum ada uangnya. Nanti kalau sudah ada, pasti dibayar.’ Atau karena mereka juga sayang sama saya,” katanya.

Jhony Naibaho juga mengatakan kepadaku bahwa dia telah berteguh janji: sepanjang sisa hayatnya, dia akan tetap menjadi politikus PDIP, dan takkan mau berpindah partai. Bahkan, dia sudah beramanat kepada handai tolannya:

“Kalau nanti saya meninggal, bilang kepada Rapidin, di peti matiku harus dipasang bendera PDI Perjuangan.” ❑

Penulis, Jarar Siahaan, adalah jurnalis independen sejak 1994; konsultan redaksi Batak Raya; bersertifikat kompetensi wartawan utama dari Dewan Pers. Ikuti dia di Facebook dan X (Twitter).

Postingan populer dari blog ini

Verisa Sinaga: Kita “Memberontak,” Sayalah Ketua PKK Samosir Nanti

ADVERTORIAL— Freddy Situmorang , bakal calon Bupati Samosir dari PDI Perjuangan, punya keunggulan yang takada pada diri petahana Bupati Vandiko Gultom, yaitu bahwa Freddy memiliki seorang istri, pasangan hidup yang dicintainya, sedangkan Vandiko masih membujang, tidak punya istri. Dalam konteks politik pilkada, status beristri dan takberistri ini signifikan, karena bisa dimanfaatkan untuk meraih suara, khususnya suara kalangan perempuan. Dari kiri: Andreas Simbolon, Rapidin Simbolon, Freddy Situmorang, dan Verisa Sinaga dalam acara politik di depan seribu warga di Desa Tomok Parsaoran, Kabupaten Samosir, 18 Juli. (Foto: Energi Baru Samosir) Istri Freddy Paulus Situmorang adalah seorang boru Sinaga, yang bernama lengkap Verisa Margret Subara. Menurut salah satu kerabat Verisa, Subara adalah akronimi dari Sinaga Uruk Barita Raja, yang berasal dari Desa Sirait, Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir. Nama “Verisa” sendiri mengandung makna yang bagus. “Gemar membantu dan praktis. Dia setia, m

Siska Ambarita Mengecam Korupnya Rezim Bupati Samosir

BATAK RAYA, Pangururan—Dari 25 anggota DPRD Kabupaten Samosir, hanya Siska Ambarita yang mau berpidato dalam sidang paripurna, 22 Juli, mengkritik buruknya kinerja pemerintahan Bupati Vandiko Gultom. Kecuali Siska dari PDIP, semua wakil rakyat lainnya cuma diam duduk manis. Siska Ambarita berpidato menyampaikan tanggapan umum dalam rapat paripurna DPRD Kabupaten Samosir, 22 Juli. Ketegasan Siska Ambarita, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Samosir, ini terjadi dalam rapat paripurna pembahasan rancangan perda tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak dan Perempuan serta sekaligus perda soal pertanggungjawaban APBD Kabupaten Samosir tahun anggaran 2023 di gedung DPRD Samosir, Senin, 22 Juli 2024. BELASAN MASALAH YANG KORUP Setidaknya ada belasan masalah bersifat korup di jajaran Pemkab Samosir yang dikecam oleh Siska Ambarita, dan itu tidak hanya terkait dengan APBD 2023, tapi juga masalah dalam APBD 2022 yang tidak kunjung dituntaskan oleh Pemkab. “Saya ingin menyampaikan bebe

Edison Sinaga Bakal Calon Bupati Samosir

PANGURURAN, Batak Raya—Edison Sinaga, putra Samosir kelahiran 1967, menjadi bakal calon Bupati Samosir periode 2024–2029. Edison Sinaga dalam sebuah acara di Pangururan, Samosir, 2023. (Foto: Hayun Gultom) Pada tahun 2023, nama Edison Sinaga sudah disebut-sebut sebagai salah satu bakal calon Bupati Samosir yang akan maju pada pilkada 2024. Kabar itu ternyata benar, Edison Sinaga sudah mendaftar sebagai bakal calon bupati ke Partai Golkar Kabupaten Samosir. Dia juga sudah mengambil  formulir dari PDI-P, Partai Perindo, Partai Demokrat, dan PKB. Pengambilan formulir diwakilkan kepada keluarganya di Samosir, karena sepekan lalu dia tengah sibuk mengikuti ujian Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional di Jakarta. Tetapi, kata Edison kepada Batak Raya , untuk penyampaian formulir nantinya ke sejumlah parpol, dia akan datang langsung ke Samosir. SIAPA EDISON SINAGA? Edison Sinaga memulai pendidikan dasar dan menengah di sekolah pertamina pada tahun 1974 di Pangkalan Brandan, kemudian SMA Santo T