Langsung ke konten utama

Rosma Habeahan Hilang di Dapur, Suaminya Diselamatkan Kepala Desa

SAMOSIR, Batak Raya—Rosma Habeahan meninggal akibat banjir bandang di Desa Siparmahan, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir, Sumatra Utara. Bencana alam ini merusak sejumlah rumah, sekolah, ratusan hektare sawah, dan pelbagai fasilitas umum di beberapa desa. Kepala Desa Siparmahan menyelamatkan cucu dan suami Rosma.

Dari kiri: Rosma Habeahan, Uas Silalahi, dan Bertua Sihotang. (Foto: Hayun Gultom, Sartono Sihotang)

SENIN petang, 13 November 2023, Jonggi Sihotang tengah berada di ladangnya, yang berbatasan dengan ladang milik Uas Silalahi (72), suami Rosma Habeahan (69). Karena hujan yang sangat deras, Jonggi sempat berlindung di pondok. Akhirnya, pada pukul enam sore, dia nekat meninggalkan ladang meskipun hujan masih lebat.

Setiba di rumahnya di Dusun I, Desa Siparmahan, Jonggi makan malam. Kemudian dia mengatakan kepada istrinya bahwa tiba-tiba dia mencium bau lumpur dan mendengar bunyi menderu-deru di kejauhan.

Karena penasaran, Jonggi keluar dari rumahnya. Dia melihat beberapa tetangga yang juga keluar rumah karena mencium bau lumpur dan mendengar gemuruh. Mereka ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi pada malam hari itu.

Dengan ikhtiar sendiri-sendiri, satu demi satu kaum bapak berjalan naik ke hulu, sedangkan kaum ibu dan anak-anak bertahan tinggal di rumah.

Jonggi pun berjalan ke arah kampung atas sembari menyenteri kiri kanan jalan. Makin ke atas, bau lumpur makin kuat tercium, dan begitu juga bunyi deru.

Akhirnya dia tiba di Lobu Sonak dan menyaksikan luapan air yang bercampur lumpur dan bebatuan setinggi lutut.

Menurut Jonggi, untunglah ada dua pohon mangga di sana, dan ada satu batang kayu besar melintang terhambat pada kedua pokok mangga itu. Ada juga batu yang sangat besar. Makanya, air bah terhalangi dan tidak menembus dinding tanah yang memagari kampung bawah. Kalau tidak, seluruh kampung di Dusun I barangkali akan tersapu banjir bandang.

Sementara itu, di bawah sana, warga kampung sudah berkumpul di tempat yang lebih aman di Lumban Sirandor, Dusun I, Desa Siparmahan.

“Tidak ada lagi warga yang bisa keluar dari Dusun I pada malam itu,” kata Jonggi Sihotang kepada Batak Raya, 16 November.

Jonggi Sihotang (Foto: Hayun Gultom)

Ketika tiba di Lobu Sonak pada malam kejadian, Jonggi sempat melihat Kepala Desa Siparmahan berusaha melewati luapan lumpur untuk menghampiri rumah Uas Silalahi.

* * *

PADA 13 November malam itu, Uas Silalahi baru tiba di rumahnya sekitar pukul 19.00, saat hujan lebat. Dia disambut oleh istrinya, Rosma Habeahan, dan keduanya duduk di teras rumah karena lampu padam.

Tidak lama kemudian, listrik hidup, lalu Rosma mengajak Uas masuk ke rumah untuk menyiapkan makan malam. Rosma melangkah ke dapur untuk menggoreng ikan.

Waktu itu mereka berdua mendengar bunyi “duk… duk…” di kejauhan. Awalnya mereka tidak peduli. Namun, lama-lama terdengar makin keras.

“Seperti suara dump truck di samping rumah,” kata Uas Silalahi, yang diwawancarai Batak Raya di lokasi banjir bandang di Lobu Sonak, Dusun I, Desa Siparmahan, Kecamatan Harian, pada Kamis, 16 November. Sore itu dia baru saja naik dari lembah, ikut mencari istrinya yang hilang terbawa banjir.

Karena suara gedebuk makin jelas, Rosma Habeahan meminta suaminya melihat apa yang terjadi di luar.

Uas Silalahi pun bergerak ke ruang tamu. Begitu dia membuka pintu rumah, luapan lumpur langsung merembes ke dalam. Dia juga memperhatikan batu-batu bergelindingan di halaman rumahnya.

Sadar akan terjadinya bencana alam, seketika itu juga dia meneriaki istrinya: “Surpu! Surpu!” Maksudnya: banjir bandang! Dengan tergesa-gesa Uas Silalahi melangkah naik ke loteng sembari memanggil-manggil istrinya.

Tiba-tiba lampu listrik di rumahnya padam kembali sehingga dia tidak bisa lagi melihat ke arah istrinya yang sedang memasak di dapur. Walau begitu, dia terus-menerus berteriak. Akan tetapi, istrinya tidak menyahut sama sekali.

Kemudian Uas Silalahi mendengar suara cucunya, seorang remaja perempuan, yang berada di rumah sebelah. Dari loteng dia berteriak memanggil cucunya agar datang dan naik ke loteng.

“Di sini saja kita. Kalaupun mati, biarlah kita mati bersama,” kata Uas Silalahi kepada cucunya.

Syukurlah, gadis itu berhasil melewati arus lumpur, lalu naik ke loteng, yang disebut Silalahi sebagai mukjizat.

Beberapa saat berselang, Silalahi mendengar suara Kepala Desa Siparmahan, Bertua Sihotang, yang berseru-seru dari luar rumahnya. “Keluar! Keluar!” kata Bertua.

Namun, Silalahi tidak berani turun dari loteng karena arus lumpur sudah mengalir ke seluruh lantai rumahnya. Menurut pikirannya, tidak mungkin dia dan cucunya bisa menembus luapan lumpur yang makin tinggi.

Lantas Kepala Desa menaruh batang kayu sebagai pijakan. Silalahi dan cucunya pun turun dari loteng, dituntun oleh Kepala Desa hingga selamat keluar dari rumah.

“Yang pertama, saya meraih tangan Kades,” kata Uas Silalahi kepada Batak Raya.

* * *

PETANG menjelang malam, 13 November, Kepala Desa Siparmahan, Bertua Sihotang, sedang sibuk mengurus material pembangunan desa. Dia mengantarkan semen ke lokasi pekerjaan di Dusun I bersama dengan Sekretaris Desa Siparmahan, Manutur Silalahi.

Kira-kira pukul tujuh malam, Bertua mendengar sesuatu yang aneh, seperti suara gemuruh di kejauhan. Dia meminta Manutur menyimak bunyi yang sayup-sayup itu.

“Tidak mungkin suara seng. Tidak juga suara hujan,” Bertua berbatin, seperti diceritakannya kepada Batak Raya, 16 November.

Anggota Polres Samosir mengeluarkan lumpur di rumah korban Rosma Habeahan. Bagian dinding yang gelap adalah posisi dapur yang hilang tersapu banjir bandang. (Foto: Hayun Gultom) 

Setelah makin lama makin jelas terdengar, Bertua menyimpulkan bahwa suara tersebut muncul dari arah gunung. “Itu suara batu,” katanya kepada Manutur.

Kades dan Sekdes pun berjalan ke arah gunung sembari menyoroti lembah di tepi jalan dengan senter.

Setelah melihat tidak adanya air mengalir di lembah, Kades memastikan bahwa suara gemuruh bersumber dari longsoran batu di gunung. Lalu dia mengontak anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Siparmahan supaya mengumumkan informasi tersebut kepada seluruh warga desa.

Di kampung Tumpahan dan kampung Lobu, Kades Bertua Sihotang memukul-mukul tiang listrik sebagai tanda bahaya. Sebelumnya, beberapa warga di sana sudah keluar rumah karena mendengar dentuman-dentuman batu.

Setelah itu, Bertua terus berjalan ke hulu untuk melihat kondisi warganya di kampung paling atas, Lobu Sonak. Di sana dia juga mendapati sejumlah warga sudah keluar rumah dan berteduh di tugu.

Di lokasi paling ujung ke arah gunung terdapat ladang dan rumah Uas Silalahi, yang sedang tertimpa arus banjir. Dapur rumahnya telah hancur, hilang terseret luapan batu-batu dan lumpur.

Bertua melihatnya dan mendatanginya. Lantas dia berseru memanggil apakah masih ada orang yang tinggal di dalam rumah.

Dari tempatnya berlindung di loteng, Silalahi menyahut. Kemudian Bertua mengarahkan lampu senternya ke dalam rumah untuk menerangi jalan bagi Silalahi dan cucunya. Namun, Silalahi tidak bisa melangkahkan kakinya di dalam lumpur yang sudah melampaui lutut.

Bertua, yang ditemani seorang lelaki warga kampung, berusaha makin mendekati pintu rumah Silalahi. Tapi dia kesulitan akibat arus banjir bandang, dan kakinya terjebak lumpur.

Kepala desa itu pun mengambil beberapa batang kayu, yang terbawa arus banjir dari gunung, dan merintangkannya hingga mencapai rumah Silalahi. Seterusnya, dia juga menggunakan batang kayu itu sebagai pijakan bagi Silalahi untuk turun dari loteng.

Pada akhirnya, Kepala Desa Siparmahan, Bertua Sihotang, berhasil membantu Uas Silalahi dan cucunya keluar dari rumah dengan selamat.

Tapi, sayangnya, istri Silalahi, Rosma Habeahan, hilang terseret banjir ketika memasak di dapur.

* * *

Jasad Rosma Habeahan dievakuasi tim SAR gabungan. (Foto: grup WA Lensa Samosir)

BESOK paginya, 14 November, anggota Polres Samosir mengeluarkan lumpur dari rumah Uas Silalahi untuk mencari istrinya, Rosma Habeahan, tetapi dia tidak ditemukan. Kedalaman lumpur mencapai lutut orang dewasa, bahkan sampai pinggang.

Pencarian terus dilanjutkan pada 15 dan 16 November oleh Badan Penanggulangan Bencana Nasional. Penduduk desa pun turut membantu mencari, termasuk dengan meminta bantuan paranormal.

Menurut Parasian Sihotang, Ketua BPD Siparmahan, akhirnya warga kampung berhasil menemukan jasad Rosma pada hari Jumat, 17 November, di dekat gedung SMP, atau sekitar 500 meter dari rumahnya.

Pada sore hari itu juga Rosma dikebumikan oleh pihak keluarga.

* * *

Masyarakat bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Samosir menyiapkan makan siang untuk pengungsi di Pintu Batu, Kecamatan Pangururan. (Foto: Hayun Gultom)

PADA 13 November malam di Kenegerian Sihotang, Kecamatan Harian, ada tiga desa tertimpa musibah banjir bandang, yang terjadi lantaran curah hujan lebat. Ketiga desa itu ialah Desa Siparmahan, Desa Sampur Toba, dan Desa Dolok Raja, yang telah didatangi Batak Raya pascabencana.

Akibat bencana alam ini, di Desa Siparmahan banyak bangunan yang rusak, termasuk rumah penduduk, dan seorang warga, Rosma Habeahan, meninggal dunia.

Gedung SMP Negeri 2 dindingnya jebol; halaman sekolah dan ruangan kelas tertutup lumpur setinggi 70 cm; komputer di laboratorium rusak tersebab lumpur. Kepala SMP Aybarda Simbolon mengusahakan agar gedung gereja terdekat bisa dipakai untuk tempat belajar sementara.

Kantor Kepala Desa Siparmahan hancur total. Hanya bagian atapnya yang tersisa di atas lumpur. Di depan kantor desa itu terdapat gedung PAUD Gloria, yang setengah dindingnya sudah tertutupi lumpur.

Sementara itu, di Desa Sampur Toba banyak lahan sawah, ladang, dan ruas jalan yang rusak.

“Padahal kami baru selesai menanam padi. Habis semua. Inilah, lihatlah,” kata seorang ibu, boru Malau, sambil menunjuk ke arah sawah yang tertutupi lumpur.

“Tadi malam sekitar jam delapan, ini semua seperti laut, air semua,” kata Nai Doris boru Silitonga.

Di Desa Dolok Raja, satu unit mobil dan satu sepeda motor terseret banjir bandang.

Sekitar 1.000 orang penduduk dari Kenegerian Sihotang, Kecamatan Harian, terpaksa mengungsi karena khawatir datangnya banjir susulan.

Menurut beberapa warga di tiga desa tersebut, banjir bandang ini merupakan banjir kiriman dari hutan Sitonggitonggi, kawasan Tele, Desa Hutagalung, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir. ❑

iklan

iklan

Postingan populer dari blog ini

Ayah Bupati Samosir: Harusnya Saya Dikonfirmasi, Bukan Bupati

Pangururan, Batak Raya — Wartawan bercekcok mulut dengan Ober Gultom, ayah Bupati Samosir, dalam grup WhatsApp. Lantas ketua organisasi media siber menyurati Bupati untuk konfirmasi. “Jadi, kalau nanti ada keluarga saya berdebat dengan mereka, lalu saya juga yang dikonfirmasi? Wah, keterlaluan!” kata Bupati Vandiko Gultom. Ober Gultom, ayah Bupati Samosir, Vandiko Gultom. (Foto: arsip pribadi) Dalam beberapa hari terakhir ini sejumlah media siber di Provinsi Sumatra Utara memberitakan Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Samosir, Tetty Naibaho, yang mengirim surat konfirmasi bertanggal 30 Mei 2022 kepada Bupati Samosir, Vandiko Gultom, tentang ayahnya sendiri, Ober Gultom, yang berbantah dengan wartawan di sebuah WhatsApp group (WAG) bernama Samosir Negeri Indah (SNI). Dalam surat yang juga ditujukan kepada Sekda Kabupaten Samosir itu Tetty menulis, “… Saudara Ober Gultom yang memberikan komentar terkait pemberitaan ‘Sampah di TPA’ dengan mengusulkan salah seorang tena

Sipalangnamora dan Datu Tambun

Riwayat Raja Sipalangnamora, nenek moyang marga Gultom, dan kisah salah satu putranya, Datu Tambun, pernah saya tulis bersama dengan wartawan Ramses Simanjuntak (almarhum) dalam dua artikel berjudul “Sipalangnamora dan Lima Kendi” serta “Sipalangnamora yang Kaya, Datu Tambun yang Sakti” dalam tabloid Pos Roha pada Juni 2015. Sebagian isi kedua tulisan itu diterbitkan ulang di Batak Raya seperti berikut. Keturunan Raja Sipalangnamora Gultom menziarahi pusara Sipalangnamora dan keempat putranya di Onanrunggu, Samosir, pada 2015, dan kemudian membangun kuburan leluhur mereka itu. (Foto: tabloid Pos Roha/reproduksi) Kata batak , dengan huruf b kecil, dalam ragam bahasa sastra memiliki makna ‘petualang’ atau ‘pengembara’, dan kata turunan membatak berarti ‘bertualang’ atau ‘mengembara’. Klan besar Gultom juga melanglang hingga beranak pinak di pelbagai wilayah, seperti halnya marga Batak Toba yang lain. [Baca juga: Miranda Gultom Bicara Marga, Gelar Sarjana, dan Suara Keras Orang Batak

Miranda Gultom Bicara Marga, Gelar Sarjana, dan Suara Keras Orang Batak

Pangaribuan, Batak Raya—Miranda Swaray Goeltom, yang lebih dikenal dengan nama Miranda Gultom, 73 tahun, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, bercerita tentang adanya orang Batak yang malu memakai marganya. Dia juga mengimbau generasi muda Batak agar bekerja menjadi petani, dan jangan semata-mata mengejar gelar kesarjanaan atau menjadi pejabat. Miranda Gultom (kiri) dan Bupati Samosir, Vandiko Gultom, dalam acara Punguan Raja Urang Pardosi di Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara. (Foto: Raidon Gultom) Pesan itu disampaikan Miranda, perempuan Batak yang berhasil menjadi profesor ekonomi di Universitas Indonesia, ketika berpidato mewakili pihak boru dalam acara pelantikan pengurus Punguan Raja Urang Pardosi (Datu Tambun), sebuah organisasi marga Gultom, di Desa Parlombuan, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatra Utara, 29 Juli 2022. Sebelum berbicara tentang kedua topik tersebut, marga Batak dan gelar akademis, Miranda terlebih dahulu mengata