Pangururan, Batak Raya — Sewaktu Mangindar Simbolon terpilih menjadi Bupati Samosir untuk periode kedua pada 2010, Marang Situmorang dicopot dari jabatannya di Pemkab Samosir, lalu ia pindah ke Pemkab Humbang Hasundutan. Saat Rapidin Simbolon terpilih pada pilkada Samosir tahun 2016, Marang kembali lagi bertugas di Pemkab Samosir. Kemudian pada pilkada Samosir tahun 2021, yang dimenangkan oleh Vandiko Gultom, lagi-lagi Marang terkena dampak pilkada: seorang pejabat baru sempat dilantik untuk menggeser Marang dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Namun, Pemkab tidak berhasil memecat dia, karena surat pemberhentiannya harus dari Kementerian Dalam Negeri.
Marang Situmorang diwawancarai Batak Raya di ruang kerjanya. (Foto: Hayun Gultom) |
“Imbas politik terhadap jabatan itu lumrah terjadi,” kata Marang Situmorang dalam wawancara khusus dengan Batak Raya di ruang kerjanya di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Parbaba, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara, sore hari pada 28 April 2022.
Pertanyaan utama Batak Raya, “Bagaimana Bapak bisa tetap sebagai kepala dinas, padahal Pemkab Samosir sudah sempat mengangkat pejabat lain menggantikan Bapak?” dijawab oleh Marang Situmorang dengan blak-blakan dan panjang lebar. Berikut uraian Marang kepada Batak Raya.
⸻
Begini ceritanya, Lae. Pada tanggal 29 Desember 2021 ada pergantian pejabat. Saat itu saya mulai persiapan pesta pernikahan anak saya untuk tanggal 4 Januari. Saya belum tahu ternyata sudah diangkat pelaksana tugas untuk Dukcapil menggantikan saya.
Pada tanggal 31 Desember, saya masuk kantor untuk mengadakan acara tutup tahun bersama pegawai. Datanglah undangan kepada saya dari Sekretariat Daerah untuk serah terima jabatan. Kalau memang begitu, saya legawa. Saya pun tahu diri bahwa saya bukan bagian dari pemerintahan yang baru [Bupati Vandiko Gultom]. Saya sadar itu. Segala risiko, saya siaplah. Saya ikhlas, ikhlas betul.
Beberapa hari kemudian acara serah terima di kantor bupati. Saya tunggu sampai hampir jam delapan malam, karena memang giliran saya belakangan. Saat itu saya sudah tahu saya serah terima dengan Resmin, sekretaris yang dilantik pada 29 Desember 2021. Pada pukul delapan, mulailah acara serah terima. “Mana surat pemberhentian saya?” kataku kepada pejabat dari Badan Kepegawaian Daerah. Karena surat itu belum ada, saya minta ditangguhkan dulu. Saya minta agar serah terima dilakukan setelah tanggal 4 Januari 2022, karena tanggal 4 saya harus ke pesta anak saya.
Pada tanggal 7 Januari saya menelepon Resmin. “Ito, sekaranglah kita serah terima, ya. Persiapkanlah semua. Bawakan sekalian SK pemberhentian saya,” kataku kepada Resmin. Sejujurnya saya merasa semua berkas sudah beres, dan saya pun sudah benar-benar ikhlas saat itu untuk pensiun. Namun, ternyata SK pemberhentian saya belum ada, padahal syarat pencabutan TTE [tanda tangan elektronik] yang atas nama saya itu harus berdasarkan SK pemberhentian. Tidak mungkin saya bisa serah terima jabatan kalau masih tanda tangan [TTE] saya yang dipakai.
Mulailah terjadi polemik di Dukcapil, karena Dukcapil harus menyampaikan laporan ke Kementerian Dalam Negeri satu kali dalam empat belas hari. Saat itu sudah tanggal 7 Januari, dan kepala dinas yang baru sudah dilantik sepuluh hari sebelumnya, berarti tinggal empat hari lagi sebelum membuat laporan ke Kementerian. Tidak mungkin saya buat laporan ke Kementerian, karena saya sudah diganti. Kalau kepala dinas yang baru yang membuat laporan, sementara tanda tangan elektronik menggunakan tanda tangan saya, itu lebih fatal lagi.
Akhirnya saya menghubungi orang yang bisa menyampaikan kondisi ini kepada Bupati. Saya katakan kepada mereka, “Ini bisa jadi masalah nanti. Tolonglah, mana tahu Bupati tidak tahu bagaimana proses yang sedang berjalan tentang pergantian pejabat di Dukcapil. Tolong segera dibuatkan surat pemberhentian saya, karena di Dukcapil ini setiap empat belas hari harus ada laporan ke atas [Kementerian]. Tolong sampaikan ke Bupati, kalau bisa dalam tiga hari ini supaya dilakukan serah terima, karena penyampaian laporan tinggal empat hari lagi.”
Setelah itu, saya pergi ke Jakarta bersama keluarga dan anak saya yang baru menikah, karena saya sudah berstatus pensiun, dan sudah ada pelaksana tugas yang dilantik menggantikan saya.
Pada tanggal 27 Januari saya ditelepon orang Kemendagri, “Bapak Situmorang, lagi di mana sekarang?”
“Di Jakarta, Pak.”
“Ngapain di Jakarta, Pak?”
“Saya, kan, sudah pensiun.”
“Siapa yang memensiunkan?”
“Masih proses, Pak.”
Pada 31 Desember 2021 saya genap berusia 58 tahun. Artinya, kalau bukan pejabat eselon II, harus pensiun terhitung mulai 1 Januari 2022.
Karena kebetulan saya sedang berada di Jakarta, saya pun mendatangi Kementerian. Direktur Bina Aparatur Kementerian mengatakan, “Bapak harus bekerja kembali sesuai perintah undang-undang.”
Lalu saya katakan, “Hidup begini saja, sehat, saya sudah bersyukur.”
“[Dukcapil] Samosir masih bagus nilainya. Manajemen berjalan bagus. Normal semua. Maka itu, Bapak harus balik, dan Bupati tidak bisa mencabut SK Bapak, karena SK Bapak dari Menteri.”
“Pak, dinamika politik di daerah itu sangat-sangat kuat. Kondisi saat ini, bukan saya meninggalkan tugas, tetapi saya tidak bisa lagi bertugas di situ, sebab saya sudah dalam usia pensiun.”
“Bagaimanapun, Bapak harus balik dulu bekerja, karena sudah satu minggu kami putus jarkomdat [jaringan komunikasi data]. Sudah kacau nanti itu. Jadi, Bapak harus kembali dulu. Nanti baru kita proses SK pemberhentian.”
Lalu saya katakan, “Apa dasar saya kembali? Saya sudah bukan kepala dinas lagi dan sudah diberhentikan.”
“Sudah ada ini. Sudah ada surat Bupati bahwa Bapak tidak pernah diberhentikan.”
Saya pun terkejut. Tadinya saya mau meminta surat pemberhentian, tapi justru yang ditunjukkan surat tidak pernah diberhentikan.
Lalu saya kembali ke Samosir dan bertugas. Berkas sudah banyak di kantor ini. Saya selesaikan, dan beberapa hari kemudian saya pergi lagi ke Jakarta [ke kantor Kemendagri]. Tujuan saya supaya saya pensiun.
Saya tanya apa langkah-langkah yang perlu saya lakukan supaya saya bisa pensiun. Saya ditanya balik, “Karena Bapak eselon II, apa alasan Bapak berhenti?”
Alasan yang paling tepat, saya bilang sakit, karena memang saya pernah sakit.
“Ya, boleh. Tapi, Bapak sabar. Menteri Dalam Negeri harus membentuk tim kesehatan untuk memeriksa kesehatan Bapak. Nanti mereka yang menentukan apakah kondisi kesehatan Bapak itu cukup jadi alasan tidak bisa bekerja.”
Ternyata baru saya tahu sudah ada moratorium dari Kementerian, sampai 31 Desember 2022 jangan ada pemberhentian pejabat di Dukcapil, untuk mempersiapkan pemilu serentak di 2024, kecuali karena pensiun dan OTT [operasi tangkap tangan] atau kasus hukum. Itulah kronologinya saya bertugas kembali di sini.
⸻
Kemudian Batak Raya bertanya, “Setelah Bapak kembali bertugas sebagai kepala dinas, bagaimana hubungan kerja Bapak dengan Bupati Vandiko Gultom?” Marang Situmorang pun menjawabnya dengan lugas, seperti berikut ini:
Pak Bupati sangat positif. Dia orang yang berjiwa besar. Saya pernah menghadap ke Bupati, permisi hendak berobat ke Jakarta, sekaligus melaporkan pekerjaan saya. Agak lama juga saya bincang-bincang dengan Bupati di ruangannya. Salah satu yang saya ingat, Bupati mengatakan, “Kenapa Bapak tidak pernah cerita ke saya mengenai hal itu?” Maksud Bupati tentang proses pergantian pejabat di Dukcapil. Lalu saya jawab, “Saya tidak ada kesempatan, Pak, karena saya sudah langsung pensiun pada 1 Januari.”
Dalam berbagai kegiatan pun beberapa kali saya ikut bersama rombongan Bupati. Jujur saya katakan, khusus berhadapan dengan Pak Bupati, tidak ada yang risi sama sekali. Dari raut wajah Pak Bupati pun tidak ada sedikit pun nuansa politik saat berkomunikasi.
Maka, kepada anak buah saya, saya katakan mari kita bekerja proporsional. Kalau soal perasaan dan hati kecil saya, saya tahu posisi saya bagaimana. Semua yang di kabupaten ini tidak menginginkan saya lagi bekerja di sini. Tapi, oleh karena peraturan, saya masih melaksanakan tugas ini. Saya berada di lingkungan yang tidak menginginkan saya, tapi harus saya kerjakan.