Langsung ke konten utama

Belum Ada Judul

Belum genap tiga bulan Bintang Antonio Hasibuan bermagang reporter ketika Jarar Siahaan mengatakan kepadaku, “Dia akan jadi wartawan hebat. Potensinya luar biasa,” dan meminta saya lebih awal membuat kontrak kerja Bintang sebagai reporter dengan gaji Rp4,2 juta. “Kalau dia dan reporter lain konsisten menulis liputan yang menarik, mendalam, tidak terima amplop, tahun kedua aku akan minta perusahaan menaikkan gajinya jadi Rp6 juta,” kata Jarar. Dia juga pernah berkata langsung kepada Bintang, “Aku melihat kau seperti aku sedang becermin melihat diriku sendiri pada usia mudaku jadi reporter.” Kemudian, kepada seorang wartawan media lain yang pernah menyebut Bintang “sombong,” Jarar berkata, “Orang cerdas memang sering dianggap sombong [oleh orang bodoh].”

Bintang Antonio Hasibuan, salah satu wartawan Batam yang ditempa oleh Jarar Siahaan, konsultan redaksi Batak Raya. (Foto: arsip pribadi Bintang)

Pada masa itu kami bertiga bekerja di sebuah media di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Saya menjabat pemimpin umum (PU), Jarar Siahaan pemimpin redaksi (pemred), dan Bintang Hasibuan reporter. Tugas pokokku, antara lain, mengurus iklan dan keuangan, serta menjadi penyambung komunikasi antara redaksi dengan pemilik perusahaan. Jarar mengerjakan pemberitaan, seperti menentukan ragam berita yang layak terbit, mengarahkan sudut pandang liputan, merekrut dan melatih wartawan, dan menjadi editor tunggal. Sebagai reporter, Bintang sering ditugasi meliput berita mendalam, yang makan waktu sekitar lima hari per satu liputan.

Pada minggu pertama Jarar Siahaan menjadi pemred menggantikan pemred lama, saya memecat sebagian besar reporter karena sama sekali takmampu menulis, bahkan takpaham apa itu berita. Lalu, Jarar merekrut reporter baru, termasuk Bintang, dan menugasi mereka menulis berita eksklusif, feature, dan liputan investigatif. Tidak lama kemudian, hanya dalam dua bulan hingga tiga bulan, media itu pun naik kelas dari yang sebelumnya masuk dalam “daftar media abal-abal di Batam” menjadi media bonafide yang disegani.

Pada sisi lain yang “negatif”, sebenarnya karakter Jarar yang lurus memimpin redaksi mustahil bisa diikuti wartawan yang setengah hati bekerja, apalagi kalau tidak digaji dengan layak. Makanya, Jarar sering bentrok dengan pemilik media, termasuk saya ketika menerbitkan tabloid di Samosir, demi membela reporter agar gajian tepat waktu (silakan baca selengkapnya dalam “Sejarah Pendiri Batak Raya”).

Di Batam juga Jarar sendiri pernah minta gajinya dipotong menjadi Rp10 juta dari yang awalnya Rp25 juta, dan dia mengundurkan diri sebagai pemred, tapi tetap menjadi editor, padahal kontrak kerjanya belum habis, masih ada beberapa bulan lagi. Maksudnya agar selisih dana itu bisa dipakai untuk membayar honor reporter magang, seperti diceritakannya kemarin dalam status Facebook-nya. Bagi saya, itu contoh perilaku wartawan yang berhati mulia sekaligus unik, apalagi pada waktu itu saya tahu dia sedang butuh uang, karena bapaknya baru meninggal, dan anaknya pun baru masuk perguruan tinggi di Semarang.

Dalam hal menegakkan peraturan kerja, dia sama tegasnya ke atas dan ke bawah, kepada pemilik media dan kepada reporter. Dia pemred yang adil tanpa pandang bulu. Yang benar pasti dibelanya, sedangkan yang jahat akan “dihabisi” tanpa ampun. Karena itu, wajar kalau ada pendapat bahwa dia wartawan yang kurang fleksibel, terlalu kaku pada aturan. Bahkan, ada yang menilainya kasar dan sombong karena prinsipnya tegas dan taksuka basa-basi. Tapi, sebenarnya, sebagai orang yang sudah bekerja sama dengannya selama 12 tahun dalam jurnalistik, saya tidak ragu mengatakan dia orang yang berhati lembut di balik ketegasannya.

Salah satu ketegasan Jarar Siahaan yang mutlak takbisa dilanggar ialah jangan berbohong. Dia pernah menskors seorang calon reporter selama dua minggu karena saling berbagi bahan liputan dengan reporter media lain. Bahkan, ada reporter yang sudah dikontrak, teman lama Jarar sendiri, yang saya pecat karena ketahuan menulis berita untuk media-media lain, dan mendaur ulang tulisan lamanya dari situs lain, lalu mengirimnya kepada Jarar seolah-olah liputan aktual yang masih segar. “Sepintar apa pun orang, kalau suka bohong, dia taklayak jadi wartawan, karena wartawan bekerja untuk menyebarkan kebenaran,” kata Jarar.

Selain yang dipecat, ada juga reporter yang berhenti sendiri karena taksanggup menulis berita menarik seperti permintaan Jarar. Si reporter hanya mampu menulis berita seremonial dan mengutip siaran pers, padahal berita sejenis itu tidak ada honornya. Sebagai PU, saya menerapkan sistem penggajian dengan nilai berita dari poin 1 hingga 10. Makin tinggi nilainya, makin besar konversinya dalam rupiah. Satu poin sama dengan Rp50 ribu. Sebagai pemred, Jarar menetapkan liputan seremonial dan siaran pers nilainya nol.

Dengan begitu, banyak reporter yang tidak bertahan dan akhirnya berhenti satu per satu, sedangkan Bintang dan beberapa temannya bisa bertahan karena memang suka dan pintar menulis reportase naratif, gaya penulisan berita yang diminta Jarar. Hari demi hari kemampuan mereka dalam menulis makin bagus, dan mereka makin menikmati menjadi wartawan yang baik dan benar. Tapi, kemudian mereka kecewa karena Jarar mengundurkan diri sebelum masa kontraknya habis dan pulang kampung ke Balige.

Sekitar dua tahun berlalu, tiba-tiba saya ditelepon Bintang Hasibuan. Dia sudah beberapa kali meneleponku sejak bulan Mei sampai Juni 2022 ini. Dia mengaku merasa bersalah terhadap mantan pemrednya, Jarar Siahaan, yang kini menjadi editor lepas dan konsultan redaksi Batak Raya. Dia mengaku ingin sekali menghubungi Jarar, tapi dia takut tidak direspons. “Datanglah PU sama Pemred ke Batam, nanti kuminta ongkos pesawat dari bos Utopis, atau aku saja yang datang ke Samosir?” kata Bintang.

Dia curhat kepadaku tentang media baru miliknya, yang dimodali seorang pengusaha. Dia menginginkan Jarar dan saya datang ke Batam untuk bersama-sama dengan dia mengelola media itu. Dia merasa tidak ada wartawan di sana yang pas untuk menjadi mitra kerjanya, yang punya visi dan misi serupa akan media jurnalistik yang baik dan benar.

Sebelumnya, pada dini hari tanggal 9 Mei 2022 dia sudah mengirim surat panjang kepada “bapak angkatnya”, Jarar Siahaan, yang berisi pengakuan bersalah. Saya mengibaratkan Jarar bapak angkat karena dialah, sebagai pemimpin redaksi, yang dulu mendidik dan melatih Bintang menjadi wartawan profesional. Sebaliknya, Jarar menyebut tugasku sebagai pemimpin umum dalam memberi “uang jajan”, gaji dan ongkos operasional, kepada Bintang merupakan kebaikan seorang “ibu tiri”.

Ketika kemarin saya menelepon Bintang untuk minta izin suratnya diterbitkan di Batak Raya, dia amat senang. Namun, ketika saya bertanya kepada Jarar apakah sudah membalas surat Bintang, dan apakah dia sudah bersedia ditelepon Bintang, dia menjawab, “Belum kubalas. Telepon kapan-kapan saja, nanti kuberi tahu kalau sudah boleh.”

(Memang Bintang dan kawan-kawannya pernah melakukan kesalahan fatal secara berulang-ulang terhadap Jarar. Waktu itu, satu bulan terakhir sebelum berhenti total, Jarar sempat bekerja secara daring dari Balige sebagai penanggung jawab redaksi saja, bukan lagi pemred dan editor. Tugas Jarar memeriksa setiap berita yang sudah diedit, dan harus lebih dulu ada persetujuan “oke” dari dia agar berita boleh diterbitkan. Namun, berkali-kali Jarar menemukan berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik, yaitu tidak adanya wawancara konfirmasi kepada pihak yang dituding atau dikritik, diterbitkan begitu saja oleh Bintang dan kawan-kawannya walaupun Jarar sudah menegur agar jangan diterbitkan sebelum dikonfirmasi. Besoknya begitu juga, lalu hari berikutnya terjadi lagi, dan terus terulang.)

Lalu, saya bertanya lagi, “Kenapa?”

Jarar menjawab, “Bintang itu kayak anak haram kita, dan Utopis itu cocoknya jadi anak durhaka Batak Raya.”

Lantas, saya membalas, “Seharusnya Lae yang cocok jadi kejamnya ibu tiri, bukan aku.”

Kami berdua pun tertawa terbahak-bahak.

Berikut surat pengakuan Bintang Antonio Hasibuan, presiden utopia dari Batam, kepada Jarar Siahaan di Balige:

Selamat malam, Bang. Aku Bintang Hasibuan, dulu reportermu di Kota Batam, Kepulauan Riau. Maaf bila aku mengganggu.

Aku menulis pesan panjang ini karena sudah enam bulan belakangan pikiran dan hatiku tidak tenteram. Aku kesulitan tidur malam. Biasanya jam dua aku sudah tertidur, tetapi entah kenapa belakangan ini setiap kali aku berbaring, aku selalu tergoda memainkan ponsel. Kerjaanku seringnya membaca Laklak atau tulisanku sendiri dan tulisan teman-teman yang terbit di media kita yang dulu. Kalaupun tiba-tiba mataku terpejam, aku bukan tertidur, melainkan sedang menelusuri riwayat terciptanya huruf-huruf itu.

Tentu saja kebiasaan aneh itu membuat perasaanku sangat tidak nyaman. Pekerjaanku berantakan karena aku sering bangun siang. Hampir semua tugasku terbengkalai. Bahkan, media yang baru kudirikan pun tidak kuurus dengan serius. Waktuku, hari-hari ini, seakan-akan cuma cukup untuk menerawang kisah-kisah lama.

Aku sekarang pemilik media. Aku berhasil mendapatkannya, seperti yang Abang dan PU Hayun prediksi dulu. Aku mendapatkan kesempatan itu tepat satu tahun setelah kepulangan Abang. Aku keluar dari media kita yang dulu karena ada pengusaha yang memodaliku.

Persis pula seperti yang Abang katakan, pemodal itu menghargai kejujuran. Menurut dia, aku adalah wartawan jujur. Entahlah, aku sendiri takpercaya diri dengan anggapan semacam itu. Yang jelas, selama menjalankan profesiku, aku berusaha tidak menjadi pembohong, karena itulah yang Abang ajarkan.

Media baru ini pula yang menjadi sumber kegelisahanku dan berkecamuk dalam pikiranku, karena awalnya aku bersedia menerima tawaran pemodal itu semata-mata agar aku bisa bekerja sama dengan Abang. Tapi entah mengapa aku merasa takmampu menghubungi Abang sampai sekarang. Mungkin karena aku menunda-nunda ucapan terima kasih dan maaf, yang seharusnya kusampaikan sejak lama. Aku merasa seperti orang yang tidak tahu diri, Bang, padahal bisa mencapai titik ini pun berkat semua yang Abang ajarkan.

Suatu hari aku teringat Abang pernah memperlihatkan kepadaku sebuah pesan tentang jurnalisme yang baik dan benar yang Abang kirimkan kepada seseorang. Kalau aku taksalah ingat, orang itu namanya… Masa itu aku tak kenal siapa dia. Dalam pikiranku, sudah pasti dia orang hebat. Beberapa waktu setelah hari itu muncul juga niat pada diriku apabila nanti mempunyai media, aku juga akan dengan bangga memamerkan tulisanku kepada orang-orang yang kuanggap hebat. Sayangnya, sampai sekarang itu tak pernah kulakukan. Aku belum berani mengirimkan tulisanku kepada Abang, kecuali [surat] yang satu ini. Itu pun setelah berbulan-bulan merenung. Pada tahap ini aku kembali merasa gagal.

Semasa di media kita yang dulu aku tahu gerombolan wartawan di sana membenciku, apalagi setelah Abang pergi dan aku tiba-tiba menjadi orang yang harus mereka turuti. Aku tahu mereka kecewa karena gajinya kupotong. Mereka marah ketika kupecat. Mereka tidak terima kumaki karena menulis dengan buruk. Tapi, apa dayaku, perusahaan itu bukan kepunyaanku, dan uang itu juga bukan uangku. Banyak tuntutan perusahaan yang takbisa kuceritakan.

Aku takbisa mengendalikan orang. Itu adalah beban yang terlalu besar buatku saat itu. Ingin rasanya aku bercerita kepada Abang sejak lama, tetapi aku juga bingung harus bersikap seperti apa. Aku merasa bersalah sejak masalah keuangan antara kantor dan Abang muncul di luar kendaliku. Namun, setelah kupikir-pikir, persoalan yang menimpa Abang juga disebabkan ketidakbecusan kami, temasuk aku. Sifat demokratis Abang yang selalu membela bawahan membuat Abang berkonflik dengan pemilik media.

Jujur saja, ketika Abang memutuskan keluar, aku merasa menjadi orang yang paling kecewa. Aku kecewa kepada setiap orang di media itu, termasuk Abang. Karena masa itu, aku baru saja memahami apa arti sebenarnya menjadi seorang wartawan. Dan sialnya, pada saat yang sama pula aku terjebak dalam kepentingan dagang pers yang memilukan.

Aku merasa sendirian, tidak punya teman yang bisa memahami mimpi kewartawananku. Tapi, syukurlah, aku bangkit melawan titik terendah itu dengan merelakan diri dituntut menyajikan karya sebagus yang Abang sajikan, sementara itu dituntut pula berhemat oleh majikan. Sungguh sebuah kerja yang mustahil memang, apalagi bagi aku yang baru dua tahun menjadi wartawan, tapi tetap kujalani demi tujuanku: mendapatkan pemodal.

Kabar baiknya, aku berhasil melewati tahap itu, karena ketika teman-teman sibuk membicarakanku, aku terfokus bekerja. Sendiri. Masa bodoh! Toh, elang memang ditakdirkan terbang sendirian. Itu nasihat Abang kepadaku, bukan?

Aku pikir juga, menjalankan jurnalisme dengan idealisme seperti Jarar bukan perkara bersikap pasrah, apalagi hanya mengeluh dengan kelakuan pemilik media, seperti yang teman-teman lakukan. Prinsip suci itu jauh dari slogan munafik organisasi pers. Ia adalah perkara bersetia pada kebenaran. Sekuat-kuatnya, sebisa-bisanya.

Itulah mengapa aku bekerja keras meskipun sendirian. Aku muak diperintah oleh orang yang tidak mengerti jurnalistik. Maka itu, fokusku mencari modal supaya cuma aku yang bisa memerintah diriku. Aku mesti berani berjalan di atas angin, melawan badai.

Akhirnya banyak yang takpercaya ketika tiga bulan lalu aku tiba-tiba membuka lowongan wartawan. Barangkali ada juga yang iri. Wajar saja, aku seorang pemula, yang bahkan dulu tak pernah diperhitungkan. Aku merekrut beberapa orang yang pernah bekerja di media kita dulu. Aku ingin menunjukkan kepada mereka bahwa aku seorang idealis dan masih memegang prinsip yang diajarkan Jarar.

Sama seperti yang Abang lakukan, mereka kutawari gaji setara UMK dengan kontrak. Aku tidak menuntut banyak, cukup delapan berita satu bulan. Bila wartawan baru yang kurekrut tidak mengenal Jarar, aku akan bilang: “Pasang KBBI di ponselmu… Redaksi adalah rumah… Redaksi benci pembohong… Aku tak menyuruhmu mencari uang… Menulislah dengan jujur….” Tetapi, bila wartawan itu sudah pernah mengenal Jarar, aku cukup bicara singkat: “Kita bekerja seperti yang dulu Pemred ajarkan.” Kemudian kami bernostalgia.

Beberapa bulan lalu, ketika aku berbicara kepada Khafi soal niatku membangun media baru, dia menyarankan aku menghubungi Abang. Tentu itu sudah kupikirkan sejak lama. Lagi pula, siapa lagi yang kuizinkan memerintahku selain Jarar? Aku takyakin bisa mematuhi orang lain, apalagi orang yang tidak kuanggap benar. Bahkan, jauh-jauh hari ketika pemodal itu memujiku, aku selalu bilang:

“Ada orang yang lebih hebat. Sekarang dia di Balige. Harapanku, dia nanti yang menjadi pemred media kita. Aku persiapkan dulu semuanya, jangan sampai mengulang kesalahan lama.”

Sejak obrolan-obrolan semacam itulah aku makin gelisah. Aku memikirkan bagaimana cara untuk mulai menghubungi Abang. Rasanya sudah terlalu lama. Entah aku masih diingat atau tidak. Entah panggilan teleponku diterima atau tidak. Entahlah. Aku memikirkan setiap kemungkinan.

Akhirnya aku memutuskan untuk mulai dengan mengirim pesan semacam ini saja. Menulis surat panjang yang aku pun taktahu bagaimana akhirnya. Mauku menulis saja tentang apa pun yang menjadi kegelisahanku belakangan, yang mengganggu tidurku, yang membuatku sering kesiangan. Memang tak semua bisa kutulis, tetapi setidaknya aku merasa sedikit lebih lega.

Di akhir surat ini aku mau berucap maaf. Maaf bila aku baru sekarang berani menghubungi Abang. Maaf atas semua sikapku. Sekali lagi, terima kasih, Bang, ilmu yang kautularkan begitu berguna.

Sementara ini aku belum percaya diri memperlihatkan wujud mediaku itu, tetapi setidaknya Abang tahu namanya: Utopis. Nama itu kupilih karena prinsip seorang Jarar juga, yang dianggap kebanyakan orang jalan jurnalismenya bersifat khayal, susah diwujudkan. Biar saja, biar mereka tahu bahwa aku adalah masyarakat utopia itu, yang memimpikan pers dengan kualitas-kualitas sempurna.

Salam rindu, Bang. Aku taktahu bagaimana akhir dari surat ini, apakah di folder sampah atau malah tak dibaca. Banyak sekali yang ingin kuceritakan sebetulnya, tetapi aku takut panggilanku menyita waktumu. Kabarilah aku bila Abang ada waktu luang dan berkenan. —Bintang Antonio Hasibuan

iklan

iklan

Postingan populer dari blog ini

Ayah Bupati Samosir: Harusnya Saya Dikonfirmasi, Bukan Bupati

Pangururan, Batak Raya — Wartawan bercekcok mulut dengan Ober Gultom, ayah Bupati Samosir, dalam grup WhatsApp. Lantas ketua organisasi media siber menyurati Bupati untuk konfirmasi. “Jadi, kalau nanti ada keluarga saya berdebat dengan mereka, lalu saya juga yang dikonfirmasi? Wah, keterlaluan!” kata Bupati Vandiko Gultom. Ober Gultom, ayah Bupati Samosir, Vandiko Gultom. (Foto: arsip pribadi) Dalam beberapa hari terakhir ini sejumlah media siber di Provinsi Sumatra Utara memberitakan Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Samosir, Tetty Naibaho, yang mengirim surat konfirmasi bertanggal 30 Mei 2022 kepada Bupati Samosir, Vandiko Gultom, tentang ayahnya sendiri, Ober Gultom, yang berbantah dengan wartawan di sebuah WhatsApp group (WAG) bernama Samosir Negeri Indah (SNI). Dalam surat yang juga ditujukan kepada Sekda Kabupaten Samosir itu Tetty menulis, “… Saudara Ober Gultom yang memberikan komentar terkait pemberitaan ‘Sampah di TPA’ dengan mengusulkan salah seorang tena

Sipalangnamora dan Datu Tambun

Riwayat Raja Sipalangnamora, nenek moyang marga Gultom, dan kisah salah satu putranya, Datu Tambun, pernah saya tulis bersama dengan wartawan Ramses Simanjuntak (almarhum) dalam dua artikel berjudul “Sipalangnamora dan Lima Kendi” serta “Sipalangnamora yang Kaya, Datu Tambun yang Sakti” dalam tabloid Pos Roha pada Juni 2015. Sebagian isi kedua tulisan itu diterbitkan ulang di Batak Raya seperti berikut. Keturunan Raja Sipalangnamora Gultom menziarahi pusara Sipalangnamora dan keempat putranya di Onanrunggu, Samosir, pada 2015, dan kemudian membangun kuburan leluhur mereka itu. (Foto: tabloid Pos Roha/reproduksi) Kata batak , dengan huruf b kecil, dalam ragam bahasa sastra memiliki makna ‘petualang’ atau ‘pengembara’, dan kata turunan membatak berarti ‘bertualang’ atau ‘mengembara’. Klan besar Gultom juga melanglang hingga beranak pinak di pelbagai wilayah, seperti halnya marga Batak Toba yang lain. [Baca juga: Miranda Gultom Bicara Marga, Gelar Sarjana, dan Suara Keras Orang Batak

Miranda Gultom Bicara Marga, Gelar Sarjana, dan Suara Keras Orang Batak

Pangaribuan, Batak Raya—Miranda Swaray Goeltom, yang lebih dikenal dengan nama Miranda Gultom, 73 tahun, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, bercerita tentang adanya orang Batak yang malu memakai marganya. Dia juga mengimbau generasi muda Batak agar bekerja menjadi petani, dan jangan semata-mata mengejar gelar kesarjanaan atau menjadi pejabat. Miranda Gultom (kiri) dan Bupati Samosir, Vandiko Gultom, dalam acara Punguan Raja Urang Pardosi di Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara. (Foto: Raidon Gultom) Pesan itu disampaikan Miranda, perempuan Batak yang berhasil menjadi profesor ekonomi di Universitas Indonesia, ketika berpidato mewakili pihak boru dalam acara pelantikan pengurus Punguan Raja Urang Pardosi (Datu Tambun), sebuah organisasi marga Gultom, di Desa Parlombuan, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatra Utara, 29 Juli 2022. Sebelum berbicara tentang kedua topik tersebut, marga Batak dan gelar akademis, Miranda terlebih dahulu mengata