Langsung ke konten utama

Miranda Gultom Bicara Marga, Gelar Sarjana, dan Suara Keras Orang Batak

Pangaribuan, Batak Raya—Miranda Swaray Goeltom, yang lebih dikenal dengan nama Miranda Gultom, 73 tahun, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, bercerita tentang adanya orang Batak yang malu memakai marganya. Dia juga mengimbau generasi muda Batak agar bekerja menjadi petani, dan jangan semata-mata mengejar gelar kesarjanaan atau menjadi pejabat.

Miranda Gultom (kiri) dan Bupati Samosir, Vandiko Gultom, dalam acara Punguan Raja Urang Pardosi di Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara. (Foto: Raidon Gultom)

Pesan itu disampaikan Miranda, perempuan Batak yang berhasil menjadi profesor ekonomi di Universitas Indonesia, ketika berpidato mewakili pihak boru dalam acara pelantikan pengurus Punguan Raja Urang Pardosi (Datu Tambun), sebuah organisasi marga Gultom, di Desa Parlombuan, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatra Utara, 29 Juli 2022. Sebelum berbicara tentang kedua topik tersebut, marga Batak dan gelar akademis, Miranda terlebih dahulu mengatakan kesannya terkait dengan langgam bicara orang Batak.

“Dari zaman dahulu, kalau di rumah orang tua saya ada orang Batak ngomong enggak keras-keras, keknya [persoalan] enggak selesai. [Namun] kok kemarin ngomongnya tetap keras, tapi cepat selesai, dan semua selesai dengan senang,” kata Miranda Gultom. “Dan saya terharu, karena selama ini memang enggak bisa, ya, orang Batak disuruh ngomong [secara lembut] kayak orang Jawa. Memang enggak bisa walaupun hati saya pengin orang Batak kalau ngomong, ‘amin’-nya enggak usah keras-keras, ‘horas’-nya enggak usah sampai mau pecah rumah gitu.”

Kendatipun demikian, dia tetap berbesar hati menjadi orang Batak dengan menyandang nama keluarganya. “Sampai sekarang saya pakai nama Gultom, dan saya bangga,” katanya. “Kenapa? Saya tahu bahwa tidak mudah perjuangan untuk maju sebagai orang Batak, sebagai Kristen. Saya menjadi guru besar Batak Kristen pertama di Fakultas Ekonomi UI, misalkan gitu, ya, dan pimpinan Bank Indonesia pertama perempuan sejak Bank Indonesia berdiri.”

Dia mengatakan kebanggaan menggunakan marga Gultom itu ditanam kepadanya oleh ayahnya, yang meninggalkan kampung halaman Batumanumpak, Pangaribuan, pada tahun 1926, ketika masih berusia sekitar 8 tahun. Karena itu, meskipun Miranda dan semua saudaranya lahir di Jakarta, mereka selalu memakai nama Gultom, termasuk di sekolah. Kebalikannya, pada zaman itu banyak generasi muda Batak di Jakarta yang tidak percaya diri memakai marganya.

“Pada waktu itu di sekolah saya, orang Batak pada enggak mau pakai marga. Bahkan, ada yang marganya Siahaan jadi Nik, Niksi apa begitu. Pokoknya dibikin keren-keren. Malu [barang-] kali,” kata Miranda. “Makanya, ayah saya bilang, ‘Kamu Gultom dan tetap Gultom. Kamu kawin, awas hilang nama Gultom-nya.’”

Kemudian, Miranda melanjutkan pidatonya dengan membahas ketahanan pangan Indonesia yang disebutnya “menyesakkan.” Menurutnya, dalam hal ketahanan pangan, Indonesia jauh tertinggal. Jangankan dengan negara maju Austria, dibandingkan dengan sesama negara berkembang Thailand dan Vietnam saja, Indonesia masih kalah. Ketahanan pangan Indonesia makin lama makin memerosot disebabkan, antara lain, pertanian tidak diurus secara maksimal.

Padahal, katanya, lahan subur di Indonesia sangat luas, dan banyak jenis tanaman yang bisa tumbuh. Dia mencontohkan Kecamatan Pangaribuan dan Kabupaten Tapanuli Utara pun bisa mencapai ketahanan pangan apabila masyarakatnya memiliki pengetahuan tanam-menanam yang memadai, antara lain tentang bibit, daun, tanah, dan musim. Pemerintah juga mesti proaktif membantu petani dalam hal dana, infrastruktur, dan sebagainya. Akan tetapi, ketahanan pangan akan sulit dicapai kalau masyarakat yang mau bercocok tanam jumlahnya makin sedikit.

“Akhirnya kembali ke orangnya. Maaf, ya, kepada para pengetua di sini, saya orangnya terus terang. Moga-moga orang Batak itu mau kembali ke sawah,” kata Miranda. “Banyak contoh daerah di Jawa berhasil, itu sebagian besar orang-orangnya, anak mudanya, mau kembali ke pertanian.”

Sebaliknya, menurut dia, pada zaman ini kebanyakan generasi muda Batak ingin bekerja menjadi orang kantoran, pegawai negeri, atau berpangkat kepala dinas, dan tidak banyak lagi “yang mau kotor kakinya.” Mereka berlomba agar bisa kuliah dan punya titel sarjana, padahal gelar akademis bukan syarat untuk meraih kesuksesan.

“Pertanyaan saya apakah ada orang [tua] yang mau mengajak pemuda-pemuda di sini untuk kembali bertani ke sawah? Kalaupun menjadi sarjana, enggak perlu menunggu bisa kerja di kota besar, tetapi kembali ke kampung,” katanya. “Berhasil tidak harus berpangkat tinggi, tidak harus punya gelar seperti saya, guru besarlah, profesor, M.B.A.-lah, segala macam, enggak perlu.”

Ketika berpidato, Miranda juga sempat meminta maaf kepada hadirin. “Saya mendengar cita-cita pomparan Raja Urang Pardosi. Saya mendengar dipaparkan berkali-kali. Disebut-sebut dulu di sini ada Pak Camat, ada Bapak-bapak Kepala Desa, ada Pak Ober. Saya bukannya tidak sopan, tetapi mohon maaf, lupa,” katanya, lantas menundukkan muka sambil tertawa. “Habisnya, kan, kalau pidato satu menit, setengah menitnya sebut-sebut nama [Miranda tertawa lagi]. Saya enggak bisa [seperti itu], jadi saya langsung saja.”

Yang dimaksud Miranda Gultom dengan “lupa” ialah karena dia tidak memulai pidatonya dengan ucapan “yang saya hormati [nama pejabat atau nama orang penting yang hadir],” salam basa-basi yang menjadi kelaziman dalam pidato orang Indonesia. Memang selama Miranda berpidato sebagai boru, lagak bahasanya egaliter, termasuk ketika dia memanggil nama suaminya, yang juga sudah berusia tua seperti dirinya.

“Di situ ada suami saya, Oloan Siahaan. Berdiri, dong, Ol,” kata Miranda Gultom dengan mesra lewat mikrofon. “Yang jangkung, kurus, dari Sigumpar.”

Oloan Siahaan adalah mantan rektor, yang juga ayah dari Nico Siahaan, selebritas yang kini menjadi anggota DPR. ❑

Raidon Gultom, warga Batumanumpak, berkontribusi untuk berita ini.

Postingan populer dari blog ini

Verisa Sinaga Terkakak-kakak Ditanya “Nikah karena Kecelakaan?”

Pangururan, BATAK RAYA—Verisa Sinaga, istri Freddy Situmorang, memaklumi suaminya selaku calon Bupati Samosir sudah menjadi “milik publik”, sehingga dia dan Freddy mesti siap dikritik dan ditanyai soal rekam jejak kehidupan mereka. Namun, khusus soal anaknya, yang masih di bawah umur, Verisa menjaga privasi. Verisa Sinaga (berbaju putih) menghadiri perayaan hari ulang tahun beberapa anggota Koalisi Wanita Samosir yang lahir pada bulan September. (Foto: Kita Samosir) Dalam wawancara profil dengan Batak Raya pada 28 September 2024 di Pangururan, perempuan berusia 33 tahun itu menceritakan riwayat hidupnya secara gamblang. Dia menjawab semua pertanyaan dengan santai. Bahkan, berkali-kali dia tertawa terbahak-bahak sewaktu Batak Raya mengajukan pertanyaan pancingan. Verisa Sinaga merupakan anak sulung dari empat bersaudara dengan orang tua yang kehidupan sosial dan ekonominya amat mapan. Di rumah orang tuanya di Bekasi, segala urusan rumah tangga, dari memasak hingga menyetrika baju, dik

Freddy Situmorang dan Andreas Simbolon Sudah Bersiap Mendaftar ke KPU Samosir

Pangururan, BATAK RAYA—Bakal calon Bupati Samosir, Freddy Lamhot Situmorang (berusia 35 tahun), dan bakal calon wakil bupati Andreas Bolivi Simbolon (27 tahun), sudah bersiap untuk mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Samosir, Sumatra Utara, guna mengikuti pilkada pada 27 November 2024. Bakal calon Bupati Samosir, Freddy Situmorang (kiri), dan calon wakil bupati Andreas Simbolon. (Foto: tim Energi Baru) Jhony Naibaho , ketua tim pemenangan Freddy-Andreas, pasangan yang memiliki slogan “Energi Baru”, mengatakan segalanya sudah dipersiapkan dengan matang untuk pendaftaran ke kantor KPU Samosir pada Rabu, 28 Agustus 2024. “Yang pertama, tentunya rekomendasi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Demokrat. Persyaratan lain yang diperlukan untuk pendaftaran juga sudah kami siapkan,” kata Jhony kepada Batak Raya di posko Energi Baru di Pangururan, Senin, 26 Agustus. Menurut sekretaris tim Energi Baru, Jabiat Sagala, pada hari Rabu nanti ribuan orang angg

Jika Freddy Situmorang Jadi Bupati, Rapidin “Menggiring Anggaran” ke Samosir

ADVERTORIAL—Bakal calon Bupati Samosir dari PDIP Freddy Paulus Situmorang akan berpasangan dengan Andreas Bolivi Simbolon. Anggota DPR terpilih Rapidin Simbolon akan membantu Freddy dengan APBN dan APBD Sumut. Regu penggerak pemilih Freddy Situmorang dikukuhkan di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, 14 Juli. (Foto: Energi Baru Samosir) Sudah menjadi rahasia umum, selama ini banyak bupati dan wali kota di Indonesia yang tidak bisa maksimal membangun daerahnya karena kesulitan memperoleh anggaran pembangunan dari APBN. Kepala daerah mesti punya kemampuan melobi kementerian, antara lain melalui pengaruh politik anggota DPR. Inilah salah satu keunggulan Freddy Situmorang, yang punya slogan “energi baru”, dibandingkan kandidat lainnya. Dia sudah mendapat dukungan penuh dari politikus nasional Rapidin Simbolon, anggota DPR RI terpilih periode 2024-2029, yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Sumatra Utara. Sokongan penuh Rapidin ini dia ucapkan sendiri ketika menghadiri pengukuhan