Langsung ke konten utama

Membongkar Kejanggalan Berita Polisi dan Forensik “Bripka Arfan Saragih Bunuh Diri”

LAPORAN MENDALAM, BATAK RAYA—Polisi merilis informasi bahwa Bripka Arfan Saragih mati bunuh diri dengan minum sianida terkait dengan kasus korupsi miliaran rupiah di Samsat Pangururan, Samosir, Sumatra Utara. Batak Raya menelaah keterangan polisi dan dokter autopsi, juga penjelasan ahli forensik digital, kemudian melakukan penelusuran dan verifikasi ke pelbagai pihak. Hasilnya, beberapa informasi versi aparat patut dicurigai karena mengandung kejanggalan, yang bisa mengarah ke dugaan pengacara keluarga Arfan bahwa polisi berusia 36 tahun itu sengaja dibunuh untuk memutus mata rantai pengungkapan kasus korupsi sejak 2018 di Samsat Pangururan.

Berikut hasil reportase mendalam Batak Raya, yang boleh Anda bagikan ke media sosial, atau dikutip ke media siber. Selamat membaca.

Tempat kejadian perkara di objek wisata Bukit Gonting difoto pada Jumat, 31 Maret 2023. Lokasi sepeda motor Bripka Arfan (markah 1) terlihat dari jalan. Lokasi mayatnya ditemukan (markah 2) terhalang batu besar. (Foto: Hayun Gultom)

Istri Bripka Arfan Saragih tidak dipedulikan di kantor Polres Samosir.


Pada Jumat pagi, 3 Februari 2023, Bripka Arfan Saragih masih beraktivitas seperti biasa. Dia mandi, lalu menyarap. Kemudian anggota Sabhara Polres Samosir itu berangkat kerja ke kantornya, sementara istrinya, Jeni Simorangkir, mengantar salah satu putranya ke sekolah.

Pukul 09.00, Jeni menelepon Arfan, yang menjawab “lagi apel.” Dia menelepon kembali pukul 10.00 untuk memberi tahu bahwa dia hendak berjalan-jalan bersama dengan anaknya, dan dia menitip sepeda motor di Polres. “Ya, enggak apa-apa, taruh saja di situ,” kata suaminya.

Pukul 11.00, Jeni menelepon lagi, tapi tidak diangkat. Begitu juga pukul 12.00. “Lalu aku minta tolong ke personel Polres untuk mencarikan, siapa tahu dia ada di Polres, tapi dibilang tidak ada,” kata Jeni dalam wawancara Batak Raya, 5 Maret 2023, di Pangururan.

Dia terus mencari tahu keberadaan suaminya, dan mendapat info “dari orang dalam” bahwa Arfan Saragih ada di Kota Medan. Jeni pun menghubungi keluarganya di Medan agar mencari Arfan, tetapi, sayangnya, takada hasilnya.

Pukul 18.00, ponsel Arfan mati total, takbisa lagi dihubungi. Lalu malam hari itu juga Jeni berangkat ke Medan dengan kedua anaknya.

Dua hari kemudian, Minggu, 5 Februari, dia kembali ke Pangururan bersama dengan iparnya, kakak perempuan Arfan, dan mendatangi Polres Samosir. “Mau buat laporan resmi biar dicari,” kata Jeni. Namun, entah kenapa, laporannya tidak diterima petugas.

Besoknya, Senin, 6 Februari, sekitar pukul 10.00, dia datang lagi ke Polres Samosir untuk menjumpai Kapolres AKBP Yogie Hardiman. Dia bicara kepada ajudan Kapolres, lalu duduk menunggu di lobi sampai dua jam lamanya. Akan tetapi, lagi-lagi entah kenapa, dia takbisa juga bertemu dengan Kapolres.

Tiba-tiba, pada tengah hari, dia melihat sejumlah perwira Polres Samosir sibuk dan tergesa-gesa. Ternyata mereka, termasuk Kapolres, langsung pergi meninggalkan markas. Jadi, Jeni tidak sempat bersua dan berbicara dengan Kapolres. Dia juga taktahu bahwa sebenarnya para pejabat utama Polres itu bergegas-gegas untuk melihat mayat suaminya yang sudah ditemukan di perbukitan.

Janggalnya, “Tidak ada satu pun polisi yang kasih tahu aku, padahal aku di situ,” kata Jeni Simorangkir. Seolah-olah ada komando agar semua polisi di sana tutup mata dan tutup mulut terhadap dirinya. Akhirnya dia mendengar kabar duka itu dari “seorang ibu Bhayangkari yang bilang suamiku sudah meninggal.”

Dari markas Polres Samosir, Jeni pergi ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Hadrianus Sinaga, Pangururan, ditemani kakak iparnya. Begitu polisi datang membawa mayat Bripka Arfan ke RSUD, Jeni langsung lemas, dan iparnya jatuh pingsan.

Bripka Arfan disebut bunuh diri, padahal hasil autopsi baru akan diumumkan 1 bulan kemudian.


Pada hari yang sama, Senin, jasad Arfan Saragih langsung dibawa oleh polisi Samosir ke Medan untuk dibedah dokter spesialis forensik. Dua hari berikutnya, Rabu, 8 Februari, Arfan dikubur pukul 22.00 di kampung orang tuanya di Dusun Pagar Janji, Mariahbuttu, Silau Kahean, Kabupaten Simalungun.

Sebelum penguburan pada malam hari itu, keluarga Arfan sempat berdebat dengan perwira polisi Samosir yang mengantar almarhum, karena polisi tidak bersedia menguburkan Arfan dengan upacara kedinasan Polri. Perwira itu, Kompol Saut Tulus Panggabean, yang hadir mewakili Kapolres Samosir, mengatakan Arfan takbisa dimakamkan secara kepolisian karena dia mati bunuh diri dan terlibat penggelapan pajak di Samsat Pangururan. Menurut keluarga Arfan, Kompol Saut juga membuat surat pernyataan bahwa penyebab kematian Arfan ialah bunuh diri. (Dalam konferensi pers Polres Samosir, 14 Maret, Kompol Saut mengakui hal itu.)

Akan tetapi, keluarga Arfan memprotes alasan Kompol Saut, karena pada waktu itu belum ada hasil resmi autopsi yang menyatakan apa penyebab kematian Arfan. Begitu pun dalam kasus pajak di Samsat, Arfan hanya berstatus terlapor, bukan tersangka. “Saat itu belum ada hasil autopsi, kenapa anak saya langsung dinyatakan bunuh diri?” kata Fince Saragih, ayah Arfan, kepada BatakRaya.com.

Protes Fince wajar, karena pernyataan polisi itu memang janggal. Seakan-akan Kompol Saut sudah lebih dulu mengetahui hasil autopsi, “bunuh diri” dan “masuknya sianida ke lambung”, yang baru diumumkan secara resmi oleh Kapolres Samosir dan dokter forensik satu bulan kemudian dalam konferensi pers tanggal 14 Maret. (Dalam forensik, lazimnya bedah mayat bisa dilakukan dalam satu hari atau dua hari saja. Akan tetapi, perlu waktu beberapa minggu untuk mengetahui hasilnya, karena masih ada tahapan pemeriksaan mikroskopis dan pemeriksaan kimiawi. Contohnya, dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat oleh Irjenpol Ferdy Sambo, “Hasil autopsi baru keluar setelah 4 sampai 8 minggu,” kata dokter, seperti dikutip kompas.com.)

Pihak keluarga pun makin curiga jangan-jangan ada sesuatu yang sengaja disembunyikan dari kematian Bripka Arfan. Soalnya, ayah Arfan, Fince Saragih, sempat melihat kondisi tubuh putranya itu sebelum dibawa ke Medan untuk autopsi. Kepada batakraya.com, Fince mengatakan sebelah wajah anaknya menghitam. Kupingnya berdarah. Bagian belakang kepalanya juga berdarah dan melunak. Pada lehernya terdapat luka “seperti terbakar.”

TKP bukan di Simullop, Kecamatan Pangururan.


Kapolres Samosir dan ahli forensik menunjukkan barang bukti kepada wartawan. (Foto: Hayun Gultom)

Pada 14 Maret 2023, Polres Samosir mengadakan konferensi pers di halaman markas di Pangururan dengan narasumber Kapolres Samosir, AKBP Yogie Hardiman; Kasat Reskrim Polres Samosir, AKP Natar Sibarani; dokter spesialis forensik dari Rumah Sakit Bhayangkara Medan, dr. Ismurizal; dan Kasubdit Biologi Kimia Laboratorium Forensik Polda Sumatra Utara, AKBP Hendri Ginting.

Keluarga almarhum Bripka Arfan juga hadir dan mendengarkan jumpa pers ini. Antara lain, istrinya, Jeni Simorangkir; ayahnya, Fince Saragih; ibunya; dan kuasa hukum mereka, Fridolin Siahaan.

Di depan puluhan wartawan pada jumpa pers, Kasat Reskrim menyebut jenazah Bripka Arfan ditemukan oleh polisi di “Simullop, Kelurahan Siogungogung, Kecamatan Pangururan.” Nama tempat kejadian perkara (TKP) itu pun muncul dalam semua media massa nasional yang memberitakan kasus ini, tetapi semuanya salah.

Menurut Camat Pangururan, Robintang Naibaho, dan Sekretaris Kecamatan Sianjurmulamula, Poltak Simanjorang, lokasi TKP tersebut masuk wilayah “Desa Hutaginjang, Kecamatan Sianjurmulamula.” Mereka menyebut nama akurat daerah itu kepada batakraya.com, yang sengaja mengajak kedua pejabat ke TKP untuk memastikan, 27 Maret.

Polisi menemukan mayat Bripka Arfan, tapi, janggalnya, tidak langsung mengecek dari dekat.


Dalam konferensi pers, Kasat Reskrim AKP Natar Sibarani mengatakan jasad Bripka Arfan Saragih ditemukan oleh polisi di “Simullop, Kelurahan Siogungogung, Kecamatan Pangururan”—yang benar: di Bukit Gonting, Desa Hutaginjang, Kecamatan Sianjurmulamula—pada Senin, 6 Februari 2023, pukul 13.00.

Menurut penjelasan Kasat Reskrim, pada siang hari itu anggota Satres Narkoba Polres Samosir—tidak disebutkan berapa orang—tengah menyelidiki kasus jual beli ganja di Bukit Gonting berdasarkan info dari masyarakat. Ketika sedang mengintai kapan terjadinya transaksi narkoba, si polisi “melihat seseorang yang sedang telungkup di bebatuan,” yang jaraknya hanya beberapa meter dari jalan. Akan tetapi, ganjilnya, polisi tidak segera mendekatinya untuk memeriksa.

“Namun, pada saat itu [polisi] belum melihat [mendekati] korban tersebut, karena memang untuk melakukan penangkapan [penjual ganja]. Setelah dilakukan penangkapan di jalan lurus itu, di aspal, kemudian [polisi] baru kembali ke TKP tersebut dan menemukannya,” kata Kasat Reskrim.

Dia menegaskan keterangannya dengan mengulangi: “Jadi, memang awalnya sudah dilihat ada sosok manusia tergeletak. Setelah melakukan penangkapan narkoba, baru [si polisi] kembali untuk melihat [dari dekat] dan kemudian melaporkan kepada pimpinan. Demikian.”

Kapolres Samosir, AKBP Yogie Hardiman, mengambil mikrofon dan menandaskan, “Saya sampaikan secara simpel saja bagaimana proses penemuan itu, yang dilakukan secara tidak sengaja.” Lalu dia mengulangi: “Saya sampaikan, tidak sengaja, bahwa anggota Satres Narkoba Polres Samosir melakukan penyelidikan di daerah situ. Kemudian menemukan dan melihat […] Bripka Arfan Saragih. Kemudian dilaporkan kepada kami yang ada di Polres, dan kami langsung mendatangi TKP.”

Kapolres juga mengatakan hanya polisi itu yang melihat keberadaan mayat Arfan. “Jadi, tidak ada orang lain yang mengetahui, kecuali anggota Satres Narkoba yang secara tidak sengaja menemukan mayat tersebut,” katanya.

Dalam semua kalimatnya itu, hingga tiga kali Kapolres mengucapkan “tidak sengaja.”

Meski begitu, masih ada hal yang janggal dan menjadi pertanyaan dalam penemuan “tidak sengaja” ini. Mengapa si polisi tidak langsung mendekati tubuh Bripka Arfan untuk mengecek? Kenapa polisi tidak penasaran siapa itu, ada apa, dan kenapa dia terkapar takberdaya?

Selain itu, informasi Kasat Reskrim tentang posisi tubuh Bripka Arfan Saragih saat ditemukan juga mendua. Awalnya dia menyebut “telungkup,” tapi kemudian mengatakan “tergeletak,” yang maknanya tidak sama. Telungkup berarti sisi depan badan berada di sebelah bawah. Sebaliknya, tergeletak berarti sisi depan badan menghadap ke atas.

Mengenai barang bukti yang ditemukan petugas Polres Samosir dari TKP, Kasat Reskrim menyebut kaus oblong dan jaket hitam yang dipakai Bripka Arfan. Di dalam saku celananya ada dompet cokelat merek Louis yang berisi KTP almarhum dan uang Rp356 ribu. Dari saku jaketnya didapati satu kunci sepeda motor Yamaha.

Sekitar 11 meter dari posisi almarhum ada sepeda motor RX-King yang distandarkan, dan helm putih pada setangnya.

Sekitar 130 cm dari jasadnya terdapat sebuah benda putih padat berukuran kecil di atas tanah. Di samping tubuhnya ada satu ponsel putih merek Vivo, kopel, dan dompet kopel yang terlepas dari kopelnya.

Di samping tubuhnya terdapat satu tas hitam Asus berisi 19 buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB); 25 surat tanda nomor kendaraan (STNK); satu kantong plastik Indomaret yang isinya satu gulung tali nilon biru; satu karton berbentuk tabung yang isinya sebuah benda putih kecil; dan satu botol Fanta tertutup yang isinya berupa cairan keruh.

Kasat Reskrim AKP Natar Sibarani mengatakan jenazah Bripka Arfan Saragih dibawa dari TKP ke RSUD Hadrianus Sinaga, Pangururan, dan kemudian pada hari itu juga diteruskan ke Rumah Sakit Bhayangkara Medan untuk diautopsi. Semua barang bukti dibawa ke Laboratorium Forensik Polda Sumatra Utara, termasuk ponsel Vivo diserahkan kepada ahli forensik digital, untuk diperiksa secara ilmiah.

Mati tersebab sianida dan “pendarahan pada rongga kepala akibat trauma benda tumpul.”


Istri Bripka Arfan Saragih, Jeni Simorangkir (kanan), dan orang tua Arfan menangis pada konferensi pers Polres Samosir. (Foto: Franki Rajagukguk)

Jasad Bripka Arfan Saragih tiba di RS Bhayangkara Medan pada Senin pukul 22.00, dan dokter spesialis forensik Ismurizal langsung memeriksa bagian luar tubuh almarhum. “Kulit sudah mulai sulit dinilai karena sudah mengalami proses pembusukan,” katanya.

Dia menerangkan hasil pemeriksaan bagian luar tubuh Bripka Arfan, yang tingginya 170 cm. Katanya, terdapat warna kemerahan pada bagian belakang daun telinga kiri, dahi kiri, mata, dan pipi kiri. Cairan merah kehitaman keluar dari kedua lubang hidung. Bibir berwarna biru kehitaman. Ujung jari-jari tangan dan ujung jari kaki berwarna kebiruan. Tungkai bawah sebelah kiri luka lecet.

Kemudian pukul 09.00 keesokan harinya, Selasa, 7 Februari, Ismurizal membedah tubuh Bripka Arfan untuk memeriksa bagian dalam. Menurut dia, ada memar atau resapan darah pada kulit kepala belakang bagian dalam dan otak bagian belakang. Bintik-bintik pendarahan di bagian otak besar, permukaan paru-paru, dan jantung. Resapan darah pada kulit leher bagian dalam, pangkal lidah, dan kulit dada bagian dalam sebelah kanan. Sisa-sisa makanan berbau khas, seperti bau buah almon, didapati di bagian lambung.

Lalu cairan lambung diambil dan diperiksa di Laboratorium Forensik Polda Sumatra Utara. Hasilnya, ditemukan zat beracun sianida.

Dengan pengecekan ilmiah tersebut, Ismurizal menyebut Bripka Arfan Saragih “mati lemas akibat masuknya sianida ke saluran makan hingga ke lambung dan saluran napas, disertai adanya pendarahan pada rongga kepala akibat trauma benda tumpul.”

Kapolres Samosir pun mengatakan, “Kami menyimpulkan bahwa dugaan kuat kematian korban adalah dengan meminum racun berupa zat sianida.”

Simpulan dokter forensik dan Kapolres ini punya perbedaan signifikan, yang bisa menimbulkan pertanyaan susulan.

Menurut dokter, kematian Bripka Arfan disebabkan oleh dua hal, yaitu “masuknya sianida” dan “pendarahan pada rongga kepala akibat trauma benda tumpul.” Sedangkan menurut Kapolres AKBP Yogie Hardiman, penyebabnya hanya karena “meminum racun berupa zat sianida.”

Dalam kesimpulannya, dokter tidak mengatakan Bripka Arfan “minum sianida,” tetapi “masuknya sianida” ke lambung. Penilaian tersebut tepat, karena tidak ada saksi yang melihat apakah Arfan meneguk sianida dari kemauannya sendiri, ataukah ada orang lain memasukkan sianida ke dalam mulutnya secara paksa. Begitu juga “pendarahan pada rongga kepala akibat trauma benda tumpul,” patut dipertanyakan apakah ada orang lain memukul kepala Bripka Arfan.

Kecurigaan tersebut perlu diperhatikan oleh tim gabungan Polda Sumatra Utara yang sudah mengambil alih perkara kematian Bripka Arfan atas perintah Kapolda Irjenpol Panca Simanjuntak.

Dokter forensik: Saya katakan proses pembusukan, tapi jenazah masih cukup segar.


Selain itu, masih ada hal lain yang janggal dalam paparan Ismurizal: dia tidak menyebut sudah berapa lama Bripka Arfan Saragih meninggal ketika jasadnya ditemukan. Makanya, dalam konferensi pers di pekarangan markas Polres Samosir, batakraya.com mengajukan pertanyaan khusus kepada Ismurizal:

“Apakah sianida mempercepat pembusukan pada mayat atau memperlambat? Tadi Bapak jelaskan kulitnya dalam kondisi busuk. Sudah berapa lama dia meninggal?”

Ismurizal pun menjawab, “Ini pertanyaan yang saya tunggu-tunggu,” lantas mengatakan sianida “tentu memperlambat proses pembusukan.” Akan tetapi, dia menemukan ulat belatung 0,5 mm hingga 1,5 mm pada tubuh Arfan. “Artinya, dia sudah meninggal kurang lebih tiga hari. Kurang lebih tiga hari, ya,” katanya.

Menurut dia, proses pembusukan terjadi pada hampir seluruh organ tubuh Arfan. “Tapi untuk korban ini masih dapat kita lakukan pemeriksaan. Saya katakan proses pembusukan, tapi jenazah masih cukup segar. Semuanya masih bisa kita nilai,” katanya.

Ucapan dokter forensik itu tidak selaras, karena pada awalnya dia sempat mengatakan, “Kulit sudah mulai sulit dinilai karena sudah mengalami proses pembusukan.” Ada kontradiksi makna dalam ungkapan “cukup segar; semuanya masih bisa kita nilai” apabila dibandingkan dengan ungkapan “kulit sudah mulai sulit dinilai.”

Aneh bin ajaib, Bripka Arfan Saragih mencari info di Google setelah meninggal.


Narasumber dari Laboratorium Forensik Polda Sumatra Utara, AKBP Hendri Ginting, mengatakan pihaknya menemukan sianida di dalam cairan lambung Bripka Arfan, di dalam botol Fanta, dan di dalam benda putih kecil yang ditemukan polisi di TKP.

Selanjutnya Hendri Ginting, mewakili ahli forensik digital yang takbisa hadir di konferensi pers, menjelaskan soal jejak digital pada telepon seluler Bripka Arfan Saragih yang ditemukan di TKP. Katanya, Arfan menggunakan ponselnya untuk mencari-cari berbagai informasi di situs web Google sebelum bunuh diri.

“Pada tanggal 3 Februari [Jumat] ada jejak di handphone beliau. Pada pukul 10.13 itu dijumpai ‘berapa lama sianida dapat membunuh manusia’. Ada juga dicari ‘racun tikus’, ‘potas’, terus ‘Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Pasal 263 KUHP’,” kata Hendri, yang menjabarkan pencarian Google itu secara kronologis.

“Kemudian beliau juga ada membuka ayat-ayat penyemangat. Terus pada pukul 05.50, ‘utang suami meninggal bunuh diri’. Kira-kira begitulah dicari di Google,” katanya.

Pukul 05.50 yang dimaksud adalah pada hari kedua pencarian Google, yaitu Sabtu, 4 Februari, karena Hendri membacakan hasil forensik digital dengan format waktu 24 jam.

“Selanjutnya pada pukul 18.00 [Sabtu], ayat motivasi lagi, Mazmur ini saya lihat. Kemudian 18.27, ayat penyemangat lagi, karena di Mazmur itu memang ayat-ayat penyemangat semua,” katanya.

Keesokan harinya, 5 Februari, “Terus, terakhirnya 09.41 [Minggu], ayat Alkitab tentang bunuh diri,” kata Hendri.

Seusai konferensi pers, batakraya.com mewawancarai dokter forensik Ismurizal untuk memastikan sudah berapa lama Arfan meninggal saat jasadnya ditemukan polisi. “Bapak katakan tadi kurang lebih tiga hari. Minimalnya berapa hari?” tanya Batak Raya.

“Dua sampai tiga hari,” jawab Ismurizal.

“Maksud Bapak minimal dua hari dan maksimal tiga hari?” tanya batakraya.com lagi.

“Ya,” kata Ismurizal.

Jawaban ilmiah ahli autopsi ini tidak selaras dengan hasil forensik digital pada ponsel Bripka Arfan Saragih.

Mayat Arfan ditemukan hari Senin, 6 Februari, dan menurut ahli autopsi, dia sudah meninggal dua hari atau tiga hari sebelumnya. Itu berarti hari Sabtu atau hari Jumat. Hari Sabtu jatuh pada tanggal 4 Februari, dan hari Jumat pada 3 Februari.

Jikalau Arfan sudah meninggal pada hari Sabtu atau Jumat, lalu siapa yang memakai ponselnya pada hari Minggu pukul 09.41 untuk mencari di Google soal ayat Alkitab tentang bunuh diri? Sungguh aneh bin ajaib!

Terkait dengan itu, penting pula ditanyakan: apakah tim gabungan Polda Sumatra Utara sudah melacak jejak lokasi ponsel Arfan ketika dipakai pada hari Jumat, Sabtu, dan Minggu untuk mencari info di Google?

Kapolres AKBP Yogie Hardiman mengancam Bripka Arfan Saragih.


Sejak kasus kematian Bripka Arfan mencuat, banyak media massa nasional menerbitkan berita miring dan menuding AKBP Yogie Hardiman tanpa konfirmasi sama sekali. Ada media yang menulis Kapolres mengancam Arfan. Ada yang bikin judul Kapolres terlibat pusaran kasus kematian Arfan. Benarkah begitu?

Beberapa kali Batak Raya telah berupaya menemui Kapolres di kantornya, dan menghubunginya lewat ponsel untuk konfirmasi. Akhirnya, ketika berada di Medan, dia mengirim pesan bersedia meladeni wawancara setelah kembali ke Pangururan.

Pada 24 Maret, Kapolres pun menerima batakraya.com di ruang kerjanya di markas Polres Samosir, dan menerangkan kronologi pengancaman terhadap Bripka Arfan Saragih, yang menggelapkan pajak kendaraan warga sejak tahun 2018 bersama dengan beberapa pegawai Samsat.

Satu minggu setelah resmi bertugas sebagai Kapolres Samosir, AKBP Yogie Hardiman menerima laporan dari warga dan anak buahnya, Kasat Lantas dan Kanit Regident, bahwa ada masalah pajak di kantor UPT Samsat Pangururan. Lantas dia meminta klarifikasi kepada Kepala UPT Samsat, Gokma Sinaga.

“Saya minta data-data wajib pajak sebagai sampel. Lalu berdasarkan analisa saya, ada pidana,” kata Yogie, yang serah terima jabatan dari Kapolres Samosir sebelumnya, AKBP Josua Tampubolon, pada 9 Januari 2023.

Tanggal 23 Januari, Kapolres memanggil Kasat Lantas, Kasi Propam, Kanit Regident, dan Bripka Arfan Saragih ke ruang kerjanya. “Saya belum kenal Arfan waktu itu,” kata Kapolres Yogie.

Menurut Kapolres, dalam pertemuan itu Arfan mengaku sering menggelapkan uang pajak kendaraan bermotor (PKB) milik warga Samosir. Namun, saat ditanya apakah dia berkomplot dengan Edgar Tambunan alias Acong, pegawai Samsat yang kabur sejak Desember 2022, Arfan sempat menyangkal.

Lalu Kapolres memeriksa ponsel Bripka Arfan. “Mana handphone-mu? Ayo kita buka bareng-bareng,” kata Kapolres.

Ternyata dalam ponsel itu ada pesan instan percakapan Arfan dengan Acong soal penggelapan PKB.

“Kamu bilang tidak kerja sama dengan Acong, terus ini apa?” kata Kapolres kepada Arfan. “Ini, ‘kita tipu dia 800 ribu’, ‘kita tipu dia 1 juta’.”

Selanjutnya Kapolres mengambil ponsel Samsung itu sebagai barang bukti tindak pidana penggelapan pajak, dan langsung melaporkan masalah tersebut ke Polda Sumatra Utara.

Dua hari kemudian, 25 Januari, petugas Propam Polda pun datang ke Polres Samosir. Selama tiga hari di Pangururan, Propam memeriksa Arfan, Kepala UPT Samsat Pangururan, dan sejumlah pegawai yang terlibat korupsi pajak kendaraan.

Kapolres Yogie juga mengatakan kepada BatakRaya.com bahwa dia sempat mengancam apabila Arfan tidak mengembalikan pajak rakyat yang digelapkannya. “Kamu kalau mengambil punya orang, kamu harus balikin, karena itu bukan hak kamu. Kalau kamu tidak balikin, tentu ada tuntutan, gugatan, pidana, dan akan berujung ke pengadilan. PTDH [pemberhentian tidak dengan hormat] atau apa pun putusannya. Setelah ada putusan hakim, tentu akan berdampak kepada anak dan istrimu. Pasti sengsara, kan? Makanya, jangan ambil punya orang. Balikin segera!” kata Kapolres.

Setelah Kapolres mengancam Bripka Arfan, dan Propam Polda memeriksanya, ternyata Arfan bersedia mengembalikan uang PKB yang ditilapnya. (Menurut Kepala Tata Usaha Samsat Pangururan, Arta Siringoringo, yang diwawancarai batakraya.com pada 20 Maret, Bripka Arfan rutin melakukan pembayaran pajak kendaraan warga pada tanggal 28, 30, dan 31 Januari. Jumlah tunggakan pajak yang diurus Arfan berdasarkan laporan warga adalah sebesar Rp727 juta, dan dia sudah membayar Rp647 juta.)

Perihal kabar yang beredar bahwa kurir J&T pernah mengantar potasium sianida kepada Bripka Arfan Saragih, kata Kapolres, itu benar adanya, dan polisi sudah memeriksa si kurir. “Benar, Arfan Saragih langsung yang terima pada tanggal 30 [Januari 2023] di kantor Samsat Pangururan, pukul 10.00. Ada saksi, kok, tapi saya enggak usahlah sebut namanya,” kata Kapolres.

Dia mengatakan polisi juga sedang menyelidiki siapa yang memesan potasium sianida tersebut. “Itu pun pertanyaan besar saya juga. Makanya, kita periksa juga orang Shopee,” katanya.

Lalu Kapolres mengulangi kalimatnya itu kepada Batak Raya, “Saya masih tanda tanya, ini proses pemesanan bagaimana.” (Istri Arfan, Jeni Simorangkir, mengatakan kepada batakraya.com bahwa suaminya punya dua ponsel, dan yang biasanya dipakai untuk belanja daring ialah ponsel Samsung.)

Takada motor Arfan Saragih di TKP pada Jumat, Sabtu, hingga Minggu.


Ompu Martogi Sagala dan Ama Jelita Sitanggang ditemui oleh Batak Raya. (Foto: Franki Rajagukguk)

Tempat kejadian perkara ditemukannya mayat Bripka Arfan Saragih berlokasi di Bukit Gonting, objek wisata alam yang kerap dikunjungi warga Samosir, khususnya kalangan pemuda. TKP ini hanya beberapa meter dari jalan yang sehari-hari dilintasi warga kampung.

Lokasi sepeda motor Arfan terstandarkan (lihat foto pertama, markah 1) jelas terlihat dari jalan. Namun, lokasi mayat Arfan ditemukan (markah 2) taktampak dari jalan aspal, karena terhalang batu besar.

Menurut Ama Julio Sagala, warga setempat, sekitar TKP itu adalah spot menarik bagi pengunjung yang ramai datang pada hari Sabtu dan Minggu mulai siang hingga sore. “Hari-hari biasa juga banyak orang datang ke sini untuk foto-foto,” katanya kepada BatakRaya.com, 18 Maret. Bahkan, khusus malam Minggu tempat itu sering didatangi muda mudi. Makanya, Ama Julio berjualan makanan dan minuman untuk pengunjung, serta menyediakan Wi-Fi dengan antena penguat sinyal. “Setiap hari selalu ada warga yang melintas dari lokasi itu naik sepeda motor ataupun berjalan kaki,” katanya.

Besoknya, 19 Maret, Batak Raya kembali berkunjung ke Bukit Gonting untuk meliput, dan mewawancarai warga di Kampung Pandulangan, 600 meter dari TKP, antara lain Ompu Martogi Sagala, Ama Jelita Sitanggang, dan seorang lagi bermarga Sigiro.

Mereka mengaku melintasi jalan di dekat TKP itu setiap harinya. “Di pinggir jalan aspal ini tidak ada parkir sepeda motor RX-King mulai Jumat, Sabtu, dan Minggu [3, 4, dan 5 Februari] juga tidak ada,” kata Ompu Martogi.

Kalaupun motor Bripka Arfan terparkir bukan di pinggir jalan aspal, dan masuk beberapa meter ke arah jalan tanah, tetap saja itu bisa dilihat, karena pengunjung wisata sering berjalan kaki melewati lokasi motor itu hingga ke tepi bukit untuk memotret pemandangan Danau Toba. “Tempat itu selalu ramai, apalagi Sabtu dan Minggu,” kata Ama Jelita.

Pada pagi hari Senin, 6 Februari, sekitar pukul 08.00, Ama Jelita melintasi jalan di dekat lokasi jasad Arfan ditemukan, tetapi dia tidak mencium adanya bau busuk di sana.

“Jam 12.00 siang, saya juga lewat dari situ, tapi belum ada saya lihat polisi di situ,” katanya.

Informasi dari Ama Julio, Ompu Martogi, dan Ama Jelita ini bisa menjadi kunci untuk membongkar perkara kematian Bripka Arfan Saragih, karena makin tampak jelas adanya kejanggalan dan ketaksesuaian dengan berita polisi dalam konferensi pers.

Menurut dokter spesialis forensik, Arfan meninggal dua hari atau tiga hari sebelum ditemukan pada Senin, 6 Februari. Dengan kata lain, dia meninggal pada hari Jumat, 3 Februari, atau hari Sabtu, 4 Februari.

Yang pertama, Jumat, 3 Februari, sudah pasti takmungkin, karena pada hari itu Arfan masih berangkat dari rumah ke kantornya di markas Polres Samosir.

Yang kedua, Sabtu, 4 Februari, juga terbantahkan menurut wawancara Batak Raya dengan warga setempat. Kata mereka, tidak ada sepeda motor Arfan terparkir di sana sejak hari Jumat, Sabtu, hingga Minggu, bahkan sebelum tengah hari pada Senin tanggal 6 Februari, dan juga takada bau busuk mayat. Selain itu, menurut forensik digital, Arfan masih menggunakan ponselnya untuk mencari info di Google pada hari Sabtu, bahkan hingga Minggu.

Yang menjadi pertanyaan, mungkinkah ada orang lain menempatkan sepeda motor Arfan di TKP menjelang pukul 13.00 hari Senin, dan apakah tim gabungan Polda sudah memeriksa sidik jari pada motor itu? Andai kata pun Arfan sudah berada di TKP dalam kondisi tidak bernyawa pada hari Sabtu, tidak mungkin dia hidup kembali untuk membawa motornya ke sana pada Senin siang.

Jadi, “Jangan-jangan almarhum ini dikorbankan menjadi tumbal untuk memutus mata rantai kasus penggelapan pajak di Samsat Pangururan,” kata Fridolin Siahaan, pengacara keluarga almarhum Bripka Arfan Saragih. ❑

Editor/konsultan redaksi:
Jarar Siahaan


CATATAN REDAKSI
Media siber boleh mengutip berita ini dengan syarat mencantumkan nama “BatakRaya.com” dan wajib menautkannya ke URL laman kutipan. Khusus pengutipan di media cetak harus ada izin tertulis dari redaksi Batak Raya. Netizen boleh menyebarkan tautan berita ke Facebook dan grup WhatsApp dengan mengeklik dua tombol di bawah, atau juga ke TikTok, YouTube, dsb.

BatakRaya.com adalah media siber di Samosir, lanjutan tabloid Batak Raya, yang menerbitkan liputan orisinal: dikerjakan dengan lambat, akurat, dan independen seturut Kode Etik Jurnalistik, serta ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jika Anda mendukung kami menjalankan fungsi kontrol sosial, termasuk membongkar kebenaran di balik kematian Bripka Arfan Saragih dan skandal korupsi di Samsat Pangururan, silakan berdonasi lewat rekening BRI nomor 5247 0101 2414 535.

Pemimpin redaksi,

Ir. Hayun Gultom

iklan

iklan

Postingan populer dari blog ini

Ayah Bupati Samosir: Harusnya Saya Dikonfirmasi, Bukan Bupati

Pangururan, Batak Raya — Wartawan bercekcok mulut dengan Ober Gultom, ayah Bupati Samosir, dalam grup WhatsApp. Lantas ketua organisasi media siber menyurati Bupati untuk konfirmasi. “Jadi, kalau nanti ada keluarga saya berdebat dengan mereka, lalu saya juga yang dikonfirmasi? Wah, keterlaluan!” kata Bupati Vandiko Gultom. Ober Gultom, ayah Bupati Samosir, Vandiko Gultom. (Foto: arsip pribadi) Dalam beberapa hari terakhir ini sejumlah media siber di Provinsi Sumatra Utara memberitakan Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Samosir, Tetty Naibaho, yang mengirim surat konfirmasi bertanggal 30 Mei 2022 kepada Bupati Samosir, Vandiko Gultom, tentang ayahnya sendiri, Ober Gultom, yang berbantah dengan wartawan di sebuah WhatsApp group (WAG) bernama Samosir Negeri Indah (SNI). Dalam surat yang juga ditujukan kepada Sekda Kabupaten Samosir itu Tetty menulis, “… Saudara Ober Gultom yang memberikan komentar terkait pemberitaan ‘Sampah di TPA’ dengan mengusulkan salah seorang tena

Sipalangnamora dan Datu Tambun

Riwayat Raja Sipalangnamora, nenek moyang marga Gultom, dan kisah salah satu putranya, Datu Tambun, pernah saya tulis bersama dengan wartawan Ramses Simanjuntak (almarhum) dalam dua artikel berjudul “Sipalangnamora dan Lima Kendi” serta “Sipalangnamora yang Kaya, Datu Tambun yang Sakti” dalam tabloid Pos Roha pada Juni 2015. Sebagian isi kedua tulisan itu diterbitkan ulang di Batak Raya seperti berikut. Keturunan Raja Sipalangnamora Gultom menziarahi pusara Sipalangnamora dan keempat putranya di Onanrunggu, Samosir, pada 2015, dan kemudian membangun kuburan leluhur mereka itu. (Foto: tabloid Pos Roha/reproduksi) Kata batak , dengan huruf b kecil, dalam ragam bahasa sastra memiliki makna ‘petualang’ atau ‘pengembara’, dan kata turunan membatak berarti ‘bertualang’ atau ‘mengembara’. Klan besar Gultom juga melanglang hingga beranak pinak di pelbagai wilayah, seperti halnya marga Batak Toba yang lain. [Baca juga: Miranda Gultom Bicara Marga, Gelar Sarjana, dan Suara Keras Orang Batak

Miranda Gultom Bicara Marga, Gelar Sarjana, dan Suara Keras Orang Batak

Pangaribuan, Batak Raya—Miranda Swaray Goeltom, yang lebih dikenal dengan nama Miranda Gultom, 73 tahun, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, bercerita tentang adanya orang Batak yang malu memakai marganya. Dia juga mengimbau generasi muda Batak agar bekerja menjadi petani, dan jangan semata-mata mengejar gelar kesarjanaan atau menjadi pejabat. Miranda Gultom (kiri) dan Bupati Samosir, Vandiko Gultom, dalam acara Punguan Raja Urang Pardosi di Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara. (Foto: Raidon Gultom) Pesan itu disampaikan Miranda, perempuan Batak yang berhasil menjadi profesor ekonomi di Universitas Indonesia, ketika berpidato mewakili pihak boru dalam acara pelantikan pengurus Punguan Raja Urang Pardosi (Datu Tambun), sebuah organisasi marga Gultom, di Desa Parlombuan, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatra Utara, 29 Juli 2022. Sebelum berbicara tentang kedua topik tersebut, marga Batak dan gelar akademis, Miranda terlebih dahulu mengata