Langsung ke konten utama

Cenayang Pusaka Situmorang

SAMOSIR, Batak Raya—Seorang bekas guru, perempuan empunya dua gelar kesarjanaan, kerasukan arwah Tambun Mulia Sihombing, nenek moyang marga Situmorang Lumbannahor. Diduga cuma muslihat untuk mencuri dua patung keramat. Dia sempat memberikan nomor judi togel.

Tiurmawati Sihombing, S.E., S.Pd. diwawancarai Koran Toba di rutan Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumut, 2013. FOTO: JARAR SIAHAAN
 
Liputan naratif ini saya tulis pertama kali dalam tabloid Koran Toba, September 2013, yang merupakan penggal pertama dari laporan sepanjang empat halaman.
 
* * *

Kampung sunyi lagi sepi. Banyak warga tengah beribadah di gereja.

Pada hari itu, Minggu, sekitar pukul 10.30 pada bulan Juli 2013, di Huta Pamoparan Pasaran, Desa Pasaran I, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara, satu mobil Kijang Innova berpelat B 1318 BVC meluncur perlahan. Di dalamnya ada tiga lelaki dan dua perempuan: Benny Siregar dan istrinya, Tiurmawati boru Sihombing; Hermanto Siregar dan istrinya, Lianni boru Sebayang; dan Adventus Sinaga.

Ketika mereka berlima turun dari mobil, Reynold Situmorang, 27 tahun, penduduk setempat, memantau mereka dari kejauhan. Dia menaruh curiga, terlebih saat mereka mengitari rumah papan milik Ompu Dohon boru Lumbanraja, inangtua Reynold, yang terkunci rapat. Hanya ada satu orang yang dikenalnya, yaitu Adventus, yang juga penduduk Desa Pasaran I, sedangkan empat orang lainnya benar-benar asing.

Ompu Dohon sedang berada di Jakarta, dan dia menitip dua patung kayu berbentuk ayam kepada Reynold. Bukan sembarang patung: benda pusaka milik klan Situmorang yang dikeramatkan selama lima belas generasi. Itulah manuk-manuk yang, menurut banyak saksi di kampung Situmorang, kerap berkokok.

Reynold menghampiri kelima pendatang itu. Sejurus bertegur sapa dan berjabat tangan, tiba-tiba seorang dari mereka, boru Sihombing, kesurupan. Dia memegangi tangan Reynold.

Menurut Reynold kepada Koran Toba, yang mewawancarainya pada Agustus 2013, boru Sihombing berkata kepadanya, “Sayalah nenekmu, Tambun Mulia Sihombing dari Sipultak. Di mana kausimpan ayam-ayamku itu?”

Mendengar nama nenek moyangnya, Tambun Mulia, spontan saja Reynold menyapanya Ompung. “Kalau mau melihat, ayo, ada di rumahku, Ompung,” jawab Reynold, lalu mengajak mereka ke rumahnya, beberapa meter di belakang rumah Ompu Dohon yang terkunci. Ia ingat betul pesan inangtua-nya: “Apabila ada orang dari pihak marga Sihombing atau Situmorang yang ingin melihat manuk-manuk, jangan tolak, mesti kauperlihatkan.”

Sesampai di sana, Reynold menggelar tikar untuk lapik duduk kelima tamunya. Akan tetapi, boru Sihombing malah marah, “Saya tidak mau duduk di situ!”

Kemudian Reynold meminta bantuan salah satu tamunya, Adventus Sinaga, untuk mengangkat dua patung ayam, manuk-manuk, dari bilik tidur ke ruang tengah.

Begitu benda pusaka tersebut diletakkan, segera saja boru Sihombing memeluknya, laksana seorang ibu memeluk anaknya yang telah lama tidak dilihatnya.

“Kau, kan, tahu. Ini milikku,” kata boru Sihombing, yang konon masih dirasuki roh Tambun Mulia Sihombing.

“Kenapa jadi milikmu?” tanya Reynold.

“Ini mesti saya bawa ke Medan, karena kalian tidak merawatnya dengan baik.”

“Begini saja, Ompung, memang wadah manuk-manuk ini kurang tepat. Ajarilah kami bagaimana baiknya. Lagi pula saya tidak bisa seorang diri memberikannya kepadamu, Ompung. Tunggulah dulu saya panggil saudara-saudaraku [marga Situmorang] yang lain. Tidak jauh dari sini ada seorang adik dari pemiliknya. Saya akan jemput ke sini.”

“Tidak usah. Jika kauberitahukan, nanti kalian jadi bertengkar.”

Boru Sihombing berkeras hati akan membawa kedua pahatan ayam itu. Dia pun memamah daun sirih di dalam mulutnya, kemudian melumurkannya pada manuk-manuk. Dia meminta sebutir telur dari suaminya, Benny Siregar, dan memberikannya kepada Reynold.

Saat itu Hermanto Siregar dan istrinya, Lianni Sebayang, masih tetap berdiri di pintu, seakan-akan mengawasi kalau-kalau ada orang lain yang datang. “Di pintu dua orang. Hendak lari, tapi saya takut,” kata Reynold. Meski terpojok, ia tidak mengizinkan mereka membawa manuk-manuk. “Tidak bisa kaubawa itu, Ompung!”

Kendatipun sudah dilarang, hasandaran Tambun Mulia tidak ambil pusing. Kembali dia mengambil telur, kali ini tujuh butir, dan menaruhnya di atas piring. Digepitnya sehelai daun sirih.

Tiba-tiba dia menangis. Air matanya yang bercucuran ditadah dengan daun itu, lalu diteteskan melewati rongga pada punggung manuk-manuk. Sesudahnya, daun sirih diwalakkan di piring.

Piring berisi tujuh telur dan sirih tersebut dititipkannya kepada Reynold. “Ini saja berikan kepada Situmorang, dan katakan bahwa boru Tambun Mulia sudah membawa manuk-manuk,” kata boru Sihombing.

Kemudian dia menyuruh Reynold memasukkan satu telur lain, yang pertama diberikannya, ke dalam satu pot bunga, dan berpesan supaya tidak dicampur dengan ketujuh telur lain.

Duduk berhadap-hadapan, mantan guru di Kota Medan itu mengatakan dirinya ingin memberkati Reynold. “Apakah kau merokok?” tanyanya.

“Iya, Ompung,” jawab Reynold.

Tiba-tiba si perempuan kesambet dengan roh lain, bukan lagi arwah Tambun Mulia. “Ompunta Raja Lontung,” kata Benny Siregar memaksudkan roh yang barusan merasuki istrinya.

Dohot do ho marsurat-surat?” tanya “si pendatang” baru.

“Main togel maksudnya, Lae,” kata Benny lagi.

“Saya tidak pernah main togel, tapi bermimpi pernah,” jawab Reynold.

“Tinggal berapa batang lagi rokokmu?” tanya sang arwah.

“Enam,” kata Reynold.

Ima buat annon. Tarhilala tioponmu,” kata yang disebut-sebut sebagai atma Raja Lontung.

Tanpa banyak cincong lagi, perempuan itu langsung mencabut kedua patung-ayam kayu dari lapaknya. “Ayo!” dia berseru kepada keempat orang kaki tangannya.

Lantas mereka keluar membawa manuk-manuk. Tempatnya, rangka kayu persegi, turut dimasukkan ke dalam mobil. Mereka pun angkat kaki.

Berasa seperti baru terlepas dari bius hipnosis, Reynold bergegas menemui warga di warung kopi yang cuma sepelempar batu jaraknya, dan menceritakan bahwa pusaka mereka telah digondol oleh orang tak dikenal. Para lelaki yang kebanyakan bermarga Situmorang itu geram mendengarnya, dan seketika bergerak mengejar gerombolan maling.

Setelah keluar hanya ratusan meter dari kampung, mereka melihat mobil tadi terparkir di tepi jalan raya di Desa Pasaran I. Ternyata kawanan itu sedang singgah di rumah salah satu kerabat, namboru Hermanto Siregar, yaitu Ompu Lando boru Siregar, yang juga mertua Adventus Sinaga.

Ompu Lando mengakui bahwa paraman-nya, Hermanto; menantunya, Adventus; dan tiga orang lainnya mampir di rumahnya pada siang hari itu dengan membawa manuk-manuk. Dia melihat kedua patung kayu terletak di ruang tamu. “Saya datang dari belakang [dapur]. ‘Apa ini? Dari mana kalian?’ kataku,” ujar Ompu Lando kepada Koran Toba, yang menemuinya pada Agustus 2013.

Tidak seberapa lama, massa dari Huta Pamoparan Pasaran datang ke rumah itu dengan berteriak marah-marah, dan menuduh lima sekawan telah mencuri pusaka nenek moyang Situmorang. Untuk mencegah jangan sampai warga bertindak brutal, seseorang menelepon petugas Polsek Onanrunggu, yang juga meliputi wilayah hukum Kecamatan Nainggolan. Polisi datang, kemudian membawa para tersangka dan barang bukti manuk-manuk ke markas.

Kendatipun begitu, warga berang karena polisi melepas dua orang dari kelima tersangka. “Menurut polisi, kedua orang itu hanya sebagai saksi mata,” kata Reynold. “Memang Hermanto Siregar dan Lianni Sebayang cuma berdiri di pintu, tidak ada bicara sedikit pun, tapi mobil itu milik Hermanto. Jadi, saya bilang sama polisi, seharusnya kedua orang itu juga mesti ditahan.”

Reynold Situmorang mengatakan boru Sihombing yang kesurupan itu mengenakan selendang putih dan baju kaus putih. Dia senantiasa mengunyah daun sirih. Bercak-bercak merah kinangan mengotori selendangnya. Kena benar selaku cenayang.

Menurut Reynold, nama lengkap perempuan hasandaran Tambun Mulia itu, seperti tercantum dalam KTP-nya, ialah Tiurmawati Sihombing, S.E., S.Pd., dengan dua titel.

Ai ido s-p-d nai, sarjana padatu-datuhon,” kata Reynold. ❑

iklan

iklan

Postingan populer dari blog ini

Sipalangnamora dan Datu Tambun

Riwayat Raja Sipalangnamora, nenek moyang marga Gultom, dan kisah salah satu putranya, Datu Tambun, pernah saya tulis bersama dengan wartawan Ramses Simanjuntak (almarhum) dalam dua artikel berjudul “Sipalangnamora dan Lima Kendi” serta “Sipalangnamora yang Kaya, Datu Tambun yang Sakti” dalam tabloid Pos Roha pada Juni 2015. Sebagian isi kedua tulisan itu diterbitkan ulang di Batak Raya seperti berikut. Keturunan Raja Sipalangnamora Gultom menziarahi pusara Sipalangnamora dan keempat putranya di Onanrunggu, Samosir, pada 2015, dan kemudian membangun kuburan leluhur mereka itu. (Foto: tabloid Pos Roha/reproduksi) Kata batak , dengan huruf b kecil, dalam ragam bahasa sastra memiliki makna ‘petualang’ atau ‘pengembara’, dan kata turunan membatak berarti ‘bertualang’ atau ‘mengembara’. Klan besar Gultom juga melanglang hingga beranak pinak di pelbagai wilayah, seperti halnya marga Batak Toba yang lain. [Baca juga: Miranda Gultom Bicara Marga, Gelar Sarjana, dan Suara Keras Orang Batak

Edison Sinaga Bakal Calon Bupati Samosir

PANGURURAN, Batak Raya—Edison Sinaga, putra Samosir kelahiran 1967, menjadi salah satu dari empat bakal calon Bupati Samosir periode 2024–2029. Edison Sinaga dalam sebuah acara di Pangururan, Samosir, 2023. (Foto: Hayun Gultom) Hingga hari ini sudah ada empat nama yang muncul sebagai bakal calon (balon) Bupati Samosir, yaitu Vandiko Gultom, bupati petahana, yang telah mendaftar ke Partai Golkar, Partai Demokrat, PDI Perjuangan, dan Partai Perindo; Martua Sitanggang, wakil bupati petahana, mendaftar ke Partai Golkar dan PDI Perjuangan; Freddy Paulus Situmorang, yang sudah mendaftar ke Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Perindo, dan Partai Demokrat; serta Edison Sinaga, yang mendaftar ke Partai Golkar. Meskipun Edison Sinaga baru mendaftar ke satu partai, tapi anggota tim suksesnya di Samosir sudah mengambil formulir pendaftaran dari beberapa partai lain. Nama Edison sebagai kandidat Bupati Samosir pertama kali muncul pada Mei 2023 dalam satu acara di Hotel Dainang di Pangururan. Saat

Miranda Gultom Bicara Marga, Gelar Sarjana, dan Suara Keras Orang Batak

Pangaribuan, Batak Raya—Miranda Swaray Goeltom, yang lebih dikenal dengan nama Miranda Gultom, 73 tahun, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, bercerita tentang adanya orang Batak yang malu memakai marganya. Dia juga mengimbau generasi muda Batak agar bekerja menjadi petani, dan jangan semata-mata mengejar gelar kesarjanaan atau menjadi pejabat. Miranda Gultom (kiri) dan Bupati Samosir, Vandiko Gultom, dalam acara Punguan Raja Urang Pardosi di Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara. (Foto: Raidon Gultom) Pesan itu disampaikan Miranda, perempuan Batak yang berhasil menjadi profesor ekonomi di Universitas Indonesia, ketika berpidato mewakili pihak boru dalam acara pelantikan pengurus Punguan Raja Urang Pardosi (Datu Tambun), sebuah organisasi marga Gultom, di Desa Parlombuan, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatra Utara, 29 Juli 2022. Sebelum berbicara tentang kedua topik tersebut, marga Batak dan gelar akademis, Miranda terlebih dahulu mengata