Langsung ke konten utama

Sipalangnamora dan Datu Tambun

Riwayat Raja Sipalangnamora, nenek moyang marga Gultom, dan kisah salah satu putranya, Datu Tambun, pernah saya tulis bersama dengan wartawan Ramses Simanjuntak (almarhum) dalam dua artikel berjudul “Sipalangnamora dan Lima Kendi” serta “Sipalangnamora yang Kaya, Datu Tambun yang Sakti” dalam tabloid Pos Roha pada Juni 2015. Sebagian isi kedua tulisan itu diterbitkan ulang di Batak Raya seperti berikut.

Keturunan Raja Sipalangnamora Gultom menziarahi pusara Sipalangnamora dan keempat putranya di Onanrunggu, Samosir, pada 2015, dan kemudian membangun kuburan leluhur mereka itu. (Foto: tabloid Pos Roha/reproduksi)

Kata batak, dengan huruf b kecil, dalam ragam bahasa sastra memiliki makna ‘petualang’ atau ‘pengembara’, dan kata turunan membatak berarti ‘bertualang’ atau ‘mengembara’. Klan besar Gultom juga melanglang hingga beranak pinak di pelbagai wilayah, seperti halnya marga Batak Toba yang lain.



Alkisah, Gultom generasi ketiga, yaitu Raja Sipalangnamora, jasadnya dikebumikan di Lumban Tongatonga, Siandorandor, Desa Pardomuan, Kecamatan Onanrunggu, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara. Empat putranya, yakni Tumonggo Pulo, Namora Lontung, Namora Sende, dan Raja Urang Pardosi alias Datu Tambun juga dimakamkan dalam pusara yang sama dengan Sipalangnamora, yang mulai dipugar oleh Yayasan Raja Sipalangnamora pada tahun 2015.

Dalam proses pemugaran dan pembangunan tugu, ketika tanah di sekitar kubur diratakan dengan alat berat, lima kendi besar ditemukan terpendam di beberapa titik lokasi berbeda. Tiap-tiap kendi setinggi pinggang orang dewasa, terbuat dari batu, dan tertutup kuat. Pada saat itu belum diketahui apa isinya, karena pengurus Yayasan Raja Sipalangnamora tidak berani membukanya kalau takada persetujuan dari seluruh marga Gultom. Akhirnya kelima kendi ditanam kembali dalam satu lubang di dekat makam Sipalangnamora.


Pada mulanya Sipalangnamora bertempat tinggal di Sibisa, Kabupaten Toba. Di sana dia menikah dengan seorang perempuan setempat, boru Sirait, dan beranak empat putra dan dua putri. Salah satu putrinya kawin dengan seorang marga Nadapdap, dan satu lagi meninggal semasih berusia gadis.

Sipalangnamora, yang terkenal dengan kepintaran dan kekayaannya, memiliki banyak emas dan ternak kerbau, dan hal itu menimbulkan kecemburuan pihak mertuanya. Ketika satu putrinya meninggal dan akan dikuburkan di Sibisa, mertua Sipalangnamora meminta imbalan tombuk tano sebagai pemilik tanah pemakaman putrinya. Permintaan mertuanya itu membuat Sipalangnamora sakit hati, dan kemudian keduanya berselisih pendapat.

Seusai penguburan putrinya, dia memikirkan siasat agar bisa angkat kaki dari Sibisa untuk selama-lamanya dan membawa harta bendanya. Lalu dia memanggil seorang dukun untuk berkonspirasi.

Di hadapan mertua Sipalangnamora, dukun mengucapkan wejangan yang intinya membolehkan Sipalangnamora pergi dari Sibisa dengan membawa seluruh hartanya, termasuk alas periuk dan emas. Setelah mendengar petuah si dukun, mertuanya tidak sedikit pun membantah, karena pada zaman itu keberadaan dukun sangat dihormati dalam kehidupan masyarakat tradisional.

Syahdan, berangkatlah Sipalangnamora dengan membawa istri dan tiga putranya, kecuali Datu Tambun, menuju ke Galagala di Samosir, sedangkan putrinya yang menikah dengan marga Nadapdap tetap tinggal di Sibisa. Seluruh harta benda dan ternaknya pun dibawa. Rombongan pengembara itu beriringan dengan kerbau yang banyak sekali. Saking banyaknya, kepala kerbau yang paling depan sudah berada di Lontung, sementara ekor kerbau yang paling belakang masih berada di Sibisa.


Datu Tambun, atau Raja Urang Pardosi, tetap tinggal di Sibisa. Di sana dia sering berburu menangkap burung.

Suatu hari dia melihat seekor burung yang sangat indah, pidong sojaiton, tetapi tidak berhasil menangkapnya. Dia menjadi penasaran dan mengikuti arah burung itu terbang. Setelah terus-menerus berjalan melewati hutan, dia tiba di suatu kampung yang kini bernama Parlombuan di Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara. Di sana dia bertemu dengan beberapa marga, antara lain Siregar dan Pasaribu.

Kemudian Datu Tambun memperkenalkan dirinya sebagai Raja Urang Pardosi kepada penguasa kampung Parlombuan, dan mengatakan niatnya untuk bermukim di sana. Namun, karena hari sudah malam, raja kampung mengatakan kepada Datu Tambun bahwa sebaiknya masalah itu dibicarakan setelah matahari terbit.

Beberapa hari selanjutnya Datu Tambun menjemput istrinya, lalu mereka mendatangi raja kampung untuk berunding. Akan tetapi, sebelum pembicaraan dimulai, raja kampung terlebih dahulu mengajak Datu Tambun dan istrinya makan bersama.

Dalam acara perjamuan, Datu Tambun bertanya kepada tuan rumah apa jenis daging yang disajikan. “Sebagai anak raja, kita harus tahu daging apa yang hendak kita makan,” kata Datu Tambun. Namun, tuan rumah tidak memberitahukan daging hewan apa yang disajikan itu. Lalu Datu Tambun mengatakan, “Jika ini kerbau, akan bersuara seperti kerbau. Jika ini anjing, akan bersuara seperti anjing. Jika ini kucing, akan bersuara seperti kucing.” Beberapa detik kemudian, tiba-tiba suara “ngeong” terdengar dari semua hidangan tersebut. Kucing yang ada di rumah itu juga ikut mengeong.

Akhirnya Datu Tambun dan istrinya tidak jadi menyantap daging itu. Raja kampung pun merasa bersalah dan mulai ketakutan setelah menyaksikan kesaktian Datu Tambun.

Menjelang subuh, istri Datu Tambun terbangun, dan di kejauhan dia melihat rombongan manusia berjalan berderet dengan memegang obor. Lantas dia membangunkan suaminya.

Ternyata semua penduduk kampung telah pergi meninggalkan kampung itu, karena mereka takut kepada Datu Tambun. Mereka membawa semua ternak dan harta dari rumah masing-masing. Sawah dan ladang yang ditinggalkan pun menjadi milik Datu Tambun.

Melihat persawahan yang luas itu, Datu Tambun memanggil kerabatnya dari Samosir, yaitu marga Pakpahan, Sidari, Harianja, Nainggolan, dan Sinaga. Mereka menetap di sana dan membuat nama-nama perkampungan yang baru.

Hari demi hari berlalu, dan keturunan Datu Tambun makin banyak. Anak-anaknya dan cucunya membuka kampung-kampung yang baru lagi. Marga-marga lain juga berdatangan untuk bermukim. Lama-lama penduduk di sana menjadi beribu-ribu jumlahnya, atau disebut mangaribu dalam bahasa Batak. Pada akhirnya, seluruh wilayah perkampungan di bawah kekuasaan Datu Tambun itu dikenal dengan nama Pangaribuan, yang kini menjadi kecamatan.

Pada sisa usianya yang sudah uzur, Datu Tambun merasa rindu kepada abang-abangnya di Samosir. Dia pun pergi mengunjungi mereka, dan akhirnya dia meninggal dan dikuburkan di Samosir. ❑

iklan

iklan

Postingan populer dari blog ini

Ayah Bupati Samosir: Harusnya Saya Dikonfirmasi, Bukan Bupati

Pangururan, Batak Raya — Wartawan bercekcok mulut dengan Ober Gultom, ayah Bupati Samosir, dalam grup WhatsApp. Lantas ketua organisasi media siber menyurati Bupati untuk konfirmasi. “Jadi, kalau nanti ada keluarga saya berdebat dengan mereka, lalu saya juga yang dikonfirmasi? Wah, keterlaluan!” kata Bupati Vandiko Gultom. Ober Gultom, ayah Bupati Samosir, Vandiko Gultom. (Foto: arsip pribadi) Dalam beberapa hari terakhir ini sejumlah media siber di Provinsi Sumatra Utara memberitakan Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Samosir, Tetty Naibaho, yang mengirim surat konfirmasi bertanggal 30 Mei 2022 kepada Bupati Samosir, Vandiko Gultom, tentang ayahnya sendiri, Ober Gultom, yang berbantah dengan wartawan di sebuah WhatsApp group (WAG) bernama Samosir Negeri Indah (SNI). Dalam surat yang juga ditujukan kepada Sekda Kabupaten Samosir itu Tetty menulis, “… Saudara Ober Gultom yang memberikan komentar terkait pemberitaan ‘Sampah di TPA’ dengan mengusulkan salah seorang tena

Miranda Gultom Bicara Marga, Gelar Sarjana, dan Suara Keras Orang Batak

Pangaribuan, Batak Raya—Miranda Swaray Goeltom, yang lebih dikenal dengan nama Miranda Gultom, 73 tahun, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, bercerita tentang adanya orang Batak yang malu memakai marganya. Dia juga mengimbau generasi muda Batak agar bekerja menjadi petani, dan jangan semata-mata mengejar gelar kesarjanaan atau menjadi pejabat. Miranda Gultom (kiri) dan Bupati Samosir, Vandiko Gultom, dalam acara Punguan Raja Urang Pardosi di Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara. (Foto: Raidon Gultom) Pesan itu disampaikan Miranda, perempuan Batak yang berhasil menjadi profesor ekonomi di Universitas Indonesia, ketika berpidato mewakili pihak boru dalam acara pelantikan pengurus Punguan Raja Urang Pardosi (Datu Tambun), sebuah organisasi marga Gultom, di Desa Parlombuan, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatra Utara, 29 Juli 2022. Sebelum berbicara tentang kedua topik tersebut, marga Batak dan gelar akademis, Miranda terlebih dahulu mengata