Langsung ke konten utama

Perjuangan Ibu Tristan Melawan Kejahatan Guru

Sitiotio, Batak Raya — Ketika masih berumur satu bulan, Tristan Tamba pernah berak darah, dan sejak saat itu hingga sekarang dia sering jatuh sakit. Kini Tristan sudah duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar Negeri 14 di Desa Janji Maria, Kecamatan Sitiotio, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara. Namun, belakangan ini dia tidak mau masuk sekolah karena sangat takut melihat wali kelasnya yang jahat.

Heddi Maulina Hutabarat menangis saat diwawancarai wartawan di Kecamatan Sitiotio, Kabupaten Samosir. (Foto: Hayun Gultom)

Ibu Tristan, Heddi Maulina Hutabarat (33 tahun), yang tinggal di Dusun Dua, Desa Janji Maria, dari jauh hari sudah memberi tahu guru-guru di sekolah itu bahwa anaknya sakit-sakitan. Bahkan, saat mendaftarkan Tristan di kelas 1, Heddi telah mewanti-wanti para guru agar maklum apabila tiba-tiba Tristan absen karena sakit atau dibawa berobat. Untunglah gurunya bisa memahami kondisi kesehatan Tristan.

Selama duduk di kelas 1 hingga kelas 2, Tristan benar-benar diperhatikan oleh guru-gurunya di sekolah. Pernah juga ketika dia tidak masuk sekolah selama beberapa hari lantaran sakit, salah satu gurunya, Bu Saur, datang menjenguknya.

Pada Agustus 2021, sewaktu Indonesia dilanda wabah Covid-19, penyakit Tristan kambuh lagi, lalu dia dibawa berobat. Setelah sehat, Tristan ingin kembali bersekolah, tapi tidak diperbolehkan oleh kepala sekolahnya, Rismaya Tamba. Kemudian Heddi Hutabarat membawa Tristan berobat ke Kota Medan, dan dokter mengatakan dia tidak terkena virus corona.

Setelah lebih dari 14 hari, Tristan diizinkan masuk sekolah. “Saya akan memberi tahu Ibu empat hari sebelum saya membawa anakku kembali berobat ke Medan,” kata Heddi kepada Rismaya.

Pada Desember 2022, tiba-tiba Tristan ogah-ogahan saat hendak berangkat ke sekolah. Setelah ditanya ibunya, dia pun mengeluh soal perlakuan seorang guru, Parlagutan Tamba.

Kata Tristan Tamba, wali kelasnya itu kerap memarahi dan memukulnya. Bahkan, Tristan disebut bodoh dan akan diturunkan ke kelas 2.

Heddi terkejut mendengar pengakuan anaknya. Tapi, dia tetap menyemangati Tristan agar mau bersekolah. “Sekolahlah, ya, Nak. Karena kau tidak pintar, maka kau perlu sekolah. Nanti Mak bilang pun kepada gurumu supaya kau tidak dipukul lagi,” katanya.

Akan tetapi, beberapa hari berikutnya Tristan kembali mengeluhkan guru Parlagutan Tamba yang masih tetap marah-marah dan memukulnya. Karena itu, dia pun ketakutan dan makin jarang masuk sekolah.

Pada 13 Desember 2022, Tristan mengungkapkan rasa kecewanya karena tidak disertakan dalam kegiatan Natal sekolah. “Guru tidak memberikan liturgi Natal untuk aku,” kata Tristan kepada Heddi. Dia juga mengingatkan ibunya agar segera membayar uang sumbangan Natal. Kemudian Heddi menelepon Kepala Sekolah, Rismaya Tamba, untuk menanya tentang kegiatan Natal bagi anaknya.

Seketika Heddi dan Rismaya baru mengawali percakapan, tiba-tiba Heddi mendengar suara seorang laki-laki dari seberang telepon: “Uang Natal-na pe so digarar si parsili buangbuang i. Anakna pe oto.” (“Uang Natal-nya pun tidak dibayar si orang takberguna itu. Anaknya pun bodoh.”)

Heddi terperanjat mendengar penghinaan itu, yang diyakini ditujukan kepada dirinya.

“Suara siapa itu tadi, Bu?” tanya Heddi.

“Tidak ada,” jawab Rismaya.

Dengan hakulyakin Heddi mengenali suara guru Parlagutan Tamba itu, dan lantas menelepon dia.

“Bapak bilang apa tadi?” tanya Heddi.

“Uang Natal-mu pe so digarar ho, Parsili Buangbuang!” jawab Parlagutan. Padanannya dalam bahasa Indonesia: “Uang Natal-mu pun tidak kaubayar, Orang Takberguna!”

“Kok begitu, Pak? Saya bayar pun.”

“Anakmu pun bodoh, tidak pernah masuk sekolah.”

“Bah, kalaupun anakku tidak masuk, kan, saya permisi kepada Kepala Sekolah karena anakku sakit.”

Dua hari kemudian Heddi pergi ke sekolah untuk membayar uang Natal anaknya kepada Kepala Sekolah, tapi tidak diterima. “Nanti saja berikan kalau anakmu jadi ikut Natal,” kata Rismaya Tamba.

Saat berada di kantor sekolah, Heddi juga sempat bertemu dengan Parlagutan Tamba. Lalu Heddi mempertanyakan kenapa Parlagutan menghina dirinya lewat telepon. Guru itu pun meminta maaf.

Dua hari berikutnya, Heddi membayar uang rapor Tristan kepada pihak sekolah.

Parlagutan Tamba, guru sekolah dasar di Sitiotio, Kabupaten Samosir. (Foto: Franki Rajagukguk)

Beberapa hari kemudian, Rismaya Tamba menelepon Heddi dan berpesan agar besoknya Tristan hadir di sekolah untuk menerima buku rapor. Rismaya juga meminta Heddi jangan memindahkan anaknya dari SD Negeri 14 Janji Maria, karena sudah ada sembilan murid yang pindah dari sekolah itu.

Akan tetapi, keesokan harinya Tristan Tamba tidak mau masuk sekolah untuk menerima rapor, karena dia masih takut terhadap wali kelasnya, Parlagutan Tamba. Jadi, rapornya pun dititip kepada murid lain untuk disampaikan kepada Tristan.

Alangkah bingungnya Heddi mengetahui rapor anaknya hanya berupa secarik kertas, bukan satu eksemplar buku bersampul rapi seperti rapor murid-murid lain. Sontak dia bergegas ke sekolah untuk protes, tapi kantor sekolah sudah tutup, dan semua pegawai sekolah sudah pulang. Lalu dia menelepon Parlagutan.

“Pak, kenapa rapor anakku hanya selembar? Mana sampulnya?” tanya Heddi.

“Tanya saja Kepala Sekolah,” jawab Parlagutan.

Kemudian Heddi menjelaskan bahwa beberapa bulan sebelumnya dia sudah mengembalikan buku rapor anaknya kepada Parlagutan.

“Bulan berapa, tanggal berapa, jam berapa rapor itu diberikan kepada saya?” tanya Parlagutan.

“Tanggal dan harinya, saya tidak ingat. Yang jelas, rapor itu saya berikan bulan delapan sebelum tanggal 17 Agustus. Jam berapa, saya tidak ingat,” kata Heddi.

Mendengar jawaban gamblang itu, sekonyong-konyong Parlagutan Tamba mencak-mencak. Bahkan, dia memaki Heddi, perempuan yang notabene orang tua muridnya sendiri:

“Di mana tanggung jawabmu sebagai orang tua? Babi! Uang Natal pun tidak kaubayar. Perempuan macam apa kau hanya buat cela!”

“Lo, kok Bapak ngomong begitu? Saya bertanya masalah rapor anakku, kok malah jadi bahas uang Natal? Coba tanya guru dan Kepala Sekolah apakah saya yang tidak mau memberikan, atau mereka yang tidak mau menerima,” kata Heddi.

Parlagutan, guru yang seyogianya digugu sebagai anutan, tidak menjawab lagi. Telepon pun ditutup.

Heddi tidak terima disebut “babi,” lalu dia mencoba menelepon kembali, tapi Parlagutan tidak merespons. Heddi menghubungi ponsel Kepala Sekolah, tapi juga tidak diangkat.

Akhirnya dia pergi menjumpai Kepala Desa Janji Maria dan menceritakan semua masalahnya dengan Parlagutan. “Tanggal 13, dia bicara kasar kepada saya. Tanggal 15, dia minta maaf. Sekarang tanggal 17, dia ucapkan lagi yang lebih kasar,” kata Heddi.

Selain itu, dia juga melaporkan masalahnya kepada pengawas sekolah. Dia pun bercerita kepada suaminya, Dosganda Tamba (44 tahun), bahwa Parlagutan berulang kali menjahati dia dan anaknya, Tristan.

Pada 8 Januari 2023, satu hari sebelum murid-murid kembali masuk sekolah pascavakansi Natal dan Tahun Baru, Dosganda Tamba menelepon Parlagutan Tamba. “Besok saya akan datang ke sekolah untuk berbicara dengan Bapak,” kata Dosganda.

Besok harinya Heddi kembali menelepon pengawas sekolah, dan bertanya kapan pengawas akan datang ke SD Negeri 14 untuk menyelesaikan masalahnya, terlebih-lebih karena Tristan masih takut kepada Parlagutan sehingga tetap tidak mau bersekolah. Atas saran pengawas sekolah, Heddi berangkat ke sekolah pada hari itu juga tanpa ditemani suaminya.

Namun, ternyata Parlagutan tidak hadir di sekolah. Kemudian Heddi menemui seorang guru yang sapaannya Pak Dewi Sinaga, yang sedang duduk berdekatan dengan Kepala Sekolah, Rismaya Tamba. “Saya datang kemari untuk memberikan uang Natal. Gara-gara uang Natal ini saya sudah dihina dan dicaci maki, padahal bukan saya tidak mau memberi. Tanggal 15 Desember, saya berikan, tapi ditolak,” kata Heddi kepada Pak Dewi.

Heddi meletakkan uang Natal di atas meja, tapi Pak Dewi Sinaga tidak bersedia menerima. Lalu Heddi mengambil dan menaruh uang tersebut pada meja Rismaya. Namun, “Ini, ini, kembalikan uangnya ini!” kata Kepala Sekolah sambil mencampakkan uang itu ke arah seorang guru yang lain. Si guru pun memungut dan menyerahkannya kembali kepada Heddi.

Sembari menggenggam uang Natal yang ditolak, Heddi Hutabarat menanyakan soal buku rapor Tristan kepada Kepala Sekolah. “Inanguda, kenapa cuma rapor anakku yang hilang? Kenapa Inanguda tidak mau menerima uang Natal ini?” katanya. Dia juga mengeluhkan perilaku keji Parlagutan yang memakinya. “Bagaimana sikap guru seperti itu, Inanguda?” Namun, Rismaya hanya menjawab tidak tahu-menahu.

Heddi pun menjelaskan pengaduan anaknya bahwa murid-murid di sekolah itu sering tidak belajar di kelas. “Kami menonton film perang di HP guru, dan kami disuruh memijitnya dari belakang,” kata Heddi menirukan ujaran anaknya. Lagi-lagi Rismaya hanya diam, sama sekali tidak menanggapi keterangan Heddi.

Ujungnya Heddi minta diri. “Saya permisi pulang. Tidak ada tanggapan Inanguda, saya ke Dinas saja [Dinas Pendidikan Kabupaten Samosir],” katanya.

Pada 27 Januari 2023, Heddi datang lagi ke sekolah untuk mengurus rapor Tristan supaya diganti dengan buku rapor yang baru. Di sana dia bertemu dengan Parlagutan Tamba, dan dia mempersoalkan ucapan Parlagutan yang taksenonoh. Meski sempat berkelit, akhirnya guru itu minta maaf lagi kepada Heddi.

Tidak cukup sampai di situ, Heddi terus memperjuangkan keadilan bagi dirinya dan anaknya yang telah dizalimi oleh Parlagutan dan Rismaya. Heddi mendesak pengawas sekolah agar segera mengusut perilaku takterpuji guru tersebut. Pengawas berjanji akan datang seminggu kemudian untuk mengadakan rapat bersama dengan komite sekolah, orang tua murid, kepala sekolah, dan pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Samosir.

Akan tetapi, janji pengawas sekolah itu tidak ditepati, maka Heddi menelepon kembali. “Bagaimana, Pak? Sekarang sudah bulan dua,” kata Heddi.

Karena si pengawas sekolah menjawab “masih proses,” Heddi pun mengepos persoalannya di Facebook.

Dengan air mata berlinang, Heddi Hutabarat menceritakan semua daya upayanya dalam memperjuangkan pendidikan anaknya itu kepada Batak Raya, yang meliput ke Kecamatan Sitiotio pada 11 Februari 2023. Setelah berwawancara, wartawan mendatangi SD Negeri 14 Janji Maria untuk meminta tanggapan dari Parlagutan Tamba dan Kepala Sekolah, Rismaya Tamba.

Tidak lama sesudah Batak Raya tiba di sana, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Samosir, Jonson Gultom, datang. Pertemuan pun dilakukan di ruang kantor sekolah, yang dihadiri Kepala Desa Janji Maria, para guru SD Negeri 14, termasuk Parlagutan dan Rismaya, beberapa orang pengawas sekolah, warga setempat, Heddi Hutabarat dan suaminya, serta Kepala Dinas Pendidikan.

Di hadapan Kepala Dinas Pendidikan dan semua hadirin, Heddi menerangkan semua detail perkaranya secara blak-blakan. Dia pun menangis ketika menceritakan hinaan Parlagutan yang menyebut dirinya “babi” dan “orang takberguna,” serta mencela anaknya “bodoh.”

“Tiga orang guru pernah membujuk Tristan agar tidak takut sekolah. Kebetulan saat itu Pak Parlagutan tidak masuk mengajar satu minggu. Tapi, setelah dia datang mengajar, anakku menjadi takut dan tidak mau lagi sekolah,” kata Heddi.

Sebagian besar tuduhan Heddi tidak disangkal oleh Parlagutan Tamba. “Memang banyak kesalahanku. Saya minta maaf. Saya berjanji Tristan tidak akan takut lagi kepadaku. Saya akan bikin dia tertawa,” kata Parlagutan. Akan tetapi, dia membantah pernah memarahi dan memukul Tristan. Dia juga mengatakan tidak pernah mengucapkan makian “babi” kepada Heddi.

Menurut Kepala Dinas Pendidikan, Jonson Gultom, sebelumnya sudah pernah terjadi beberapa masalah di SD Negeri 14 Janji Maria. Antara lain, sejumlah orang tua murid memindahkan anaknya dari sekolah itu, karena takada kapur tulis sehingga guru tidak mengajar, dan kantor sekolah jarang dibuka tersebab Kepala Sekolah tidak masuk kerja.

“Sejak pertama pun saya ke sini juga karena keresahan masyarakat. Jadi, sudah berturut-turut persoalan di sekolah ini. Permasalahan ini bukan satu, dua, tiga, empat, lima, tapi lebih,” kata Jonson Gultom. “Juga sudah viral, sehingga saya dipanggil Pak Bupati.”

Dia mengatakan akan ada keputusan dari Bupati Samosir dalam waktu dekat terkait dengan masalah di Sekolah Dasar Negeri 14 Janji Maria itu. Namun, dia tidak bisa memastikan apa sanksi yang akan dijatuhkan terhadap Parlagutan Tamba dan Rismaya Tamba. “Itu tergantung keputusan Pak Bupati,” kata Jonson Gultom. ❑

iklan

iklan

Postingan populer dari blog ini

Ayah Bupati Samosir: Harusnya Saya Dikonfirmasi, Bukan Bupati

Pangururan, Batak Raya — Wartawan bercekcok mulut dengan Ober Gultom, ayah Bupati Samosir, dalam grup WhatsApp. Lantas ketua organisasi media siber menyurati Bupati untuk konfirmasi. “Jadi, kalau nanti ada keluarga saya berdebat dengan mereka, lalu saya juga yang dikonfirmasi? Wah, keterlaluan!” kata Bupati Vandiko Gultom. Ober Gultom, ayah Bupati Samosir, Vandiko Gultom. (Foto: arsip pribadi) Dalam beberapa hari terakhir ini sejumlah media siber di Provinsi Sumatra Utara memberitakan Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Samosir, Tetty Naibaho, yang mengirim surat konfirmasi bertanggal 30 Mei 2022 kepada Bupati Samosir, Vandiko Gultom, tentang ayahnya sendiri, Ober Gultom, yang berbantah dengan wartawan di sebuah WhatsApp group (WAG) bernama Samosir Negeri Indah (SNI). Dalam surat yang juga ditujukan kepada Sekda Kabupaten Samosir itu Tetty menulis, “… Saudara Ober Gultom yang memberikan komentar terkait pemberitaan ‘Sampah di TPA’ dengan mengusulkan salah seorang tena

Sipalangnamora dan Datu Tambun

Riwayat Raja Sipalangnamora, nenek moyang marga Gultom, dan kisah salah satu putranya, Datu Tambun, pernah saya tulis bersama dengan wartawan Ramses Simanjuntak (almarhum) dalam dua artikel berjudul “Sipalangnamora dan Lima Kendi” serta “Sipalangnamora yang Kaya, Datu Tambun yang Sakti” dalam tabloid Pos Roha pada Juni 2015. Sebagian isi kedua tulisan itu diterbitkan ulang di Batak Raya seperti berikut. Keturunan Raja Sipalangnamora Gultom menziarahi pusara Sipalangnamora dan keempat putranya di Onanrunggu, Samosir, pada 2015, dan kemudian membangun kuburan leluhur mereka itu. (Foto: tabloid Pos Roha/reproduksi) Kata batak , dengan huruf b kecil, dalam ragam bahasa sastra memiliki makna ‘petualang’ atau ‘pengembara’, dan kata turunan membatak berarti ‘bertualang’ atau ‘mengembara’. Klan besar Gultom juga melanglang hingga beranak pinak di pelbagai wilayah, seperti halnya marga Batak Toba yang lain. [Baca juga: Miranda Gultom Bicara Marga, Gelar Sarjana, dan Suara Keras Orang Batak

Miranda Gultom Bicara Marga, Gelar Sarjana, dan Suara Keras Orang Batak

Pangaribuan, Batak Raya—Miranda Swaray Goeltom, yang lebih dikenal dengan nama Miranda Gultom, 73 tahun, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, bercerita tentang adanya orang Batak yang malu memakai marganya. Dia juga mengimbau generasi muda Batak agar bekerja menjadi petani, dan jangan semata-mata mengejar gelar kesarjanaan atau menjadi pejabat. Miranda Gultom (kiri) dan Bupati Samosir, Vandiko Gultom, dalam acara Punguan Raja Urang Pardosi di Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara. (Foto: Raidon Gultom) Pesan itu disampaikan Miranda, perempuan Batak yang berhasil menjadi profesor ekonomi di Universitas Indonesia, ketika berpidato mewakili pihak boru dalam acara pelantikan pengurus Punguan Raja Urang Pardosi (Datu Tambun), sebuah organisasi marga Gultom, di Desa Parlombuan, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatra Utara, 29 Juli 2022. Sebelum berbicara tentang kedua topik tersebut, marga Batak dan gelar akademis, Miranda terlebih dahulu mengata