Langsung ke konten utama

Penginjil Ketakutan Akan Dihabisi Saat Melapor di Polres Samosir

PANGURURAN, BATAK RAYA—Oknum polisi di Polres Samosir, Sumatra Utara, tampaknya takpeduli dan tidak mempan perintah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang sudah berkali-kali mengingatkan lewat media agar polisi bersikap santun dan profesional dalam melayani masyarakat, serta menjauhi perilaku koruptif.

Maharjani Malau. (Foto: arsip pribadi)

Pada 2022 lalu, saat ikut mengatur lalu lintas, Wakapolres Kompol Togap Lumbantobing memaki seorang pastor Katolik, yang disaksikan warga Desa Tomok, Kecamatan Simanindo. Kemudian, Januari 2023, terungkap korupsi miliaran rupiah pajak kendaraan milik ratusan warga yang dilakukan bertahun-tahun secara berjemaah oleh pegawai Samsat Pangururan, termasuk oknum Satlantas Polres Samosir, Bripka Arfan Saragih. Lalu, Februari 2023, Bripka Arfan Saragih ditemukan tewas karena bunuh diri menurut polisi, tapi keluarga almarhum menduga Arfan sengaja dikorbankan untuk memutus mata rantai pengungkapan skandal korupsi di Samsat. Sekarang, April 2023, terjadi lagi: ketika sedang melaporkan masalahnya di markas Polres Samosir, seorang penginjil diancam akan dihabisi oleh oknum polisi.

“Tolong tuliskan masalah saya ini di Batak Raya,” kata Maharjani Malau, penginjil dari The Gideons International, yang tinggal di Desa Maduma, Kecamatan Simanindo, kepada batakraya.com di Pangururan, ibu kota Kabupaten Samosir, 21 April 2023.

Maharjani bercerita bahwa pada 13 April, dia tengah duduk santai di warung kopi di Desa Cinta Dame ketika Ester boru Sinaga dan suaminya, Sidauruk, datang. Sekonyong-konyong Ester bertanya sambil marah-marah kepada Maharjani, “Di mana kaubikin getah [pinus] saya? Sudah berapa banyak kaucuri getah saya?”

Maharjani membalas, “Ada apa ini, kok tiba-tiba datang nanya getah ke saya?”

Ester Sinaga berkata lagi, “Saya sudah tanya abangmu. Saya sudah tanya keluargamu. Telepon sekarang. Kau pencuri!”

Maharjani, yang mencari nafkah dengan bertani, berusaha tetap tenang, dan mengatakan agar Ester melapor kepada polisi kalau memang benar kehilangan getah pinus, tapi jangan asal menuduh orang.

Namun, tanpa dinyana, tiba-tiba Maharjani diludahi oleh Ester. “Tidak usah ajari saya soal berurusan dengan polisi. Saya sudah tahu bagaimana berurusan dengan polisi,” kata Ester.

Karena Ester terus mengomel dan menuduhnya pencuri, Maharjani pun mengatakan akan menelepon abangnya seperti diminta Ester. Lalu Maharjani meraih tasnya untuk mengambil pengecas ponsel, karena setrum ponselnya hampir mati. Namun, Ester segera merebut tas itu dan melemparkannya.

Kemudian Maharjani berdiri untuk mengambil tasnya. Akan tetapi, Ester lebih dulu memungut dan melempar tas itu ke arah suaminya, Sidauruk, sembari berkata, “Tangkap ini tasnya. Jaga sepeda motornya itu.”

Ketika Maharjani menghampiri Sidauruk untuk meminta tasnya, tiba-tiba ibu kandung Ester datang ke warung dan langsung menampar Maharjani.

Mertua Maharjani pun datang, lalu mengajaknya meninggalkan warung. Namun, sepeda motornya ditinggalkan di depan warung, karena Sidauruk telah mengambil kuncinya dan tidak mau mengembalikannya kepada Maharjani.

Beberapa saat kemudian anggota keluarga Maharjani kembali ke warung untuk mengambil sepeda motor. Tapi ternyata motor tersebut sudah dipindahkan ke rumah Ester.

Dengan semua perlakuan semena-mena pihak Ester Sinaga, akhirnya Maharjani Malau pergi membuat laporan ke markas Polres Samosir pada sore hari itu juga.

Oknum di Polres Samosir tidak santun dan tidak profesional melayani laporan Maharjani.


Di kantor Polres Samosir, Maharjani diterima oleh polisi bernama Martin Aritonang, yang langsung bertanya, “Masalah apa? Perampasan, ya?” Pertanyaan itu membuat Maharjani heran, karena tampaknya polisi sudah tahu masalah yang akan dilaporkannya.

Maharjani pun menjelaskan dirinya dimaki, diludahi, ditampar, dituduh mencuri getah pinus, dan sepeda motornya ditahan oleh pihak Ester boru Sinaga. Lalu Martin meminta nomor telepon Ester dari Maharjani.

Setelah Martin berbicara dengan Ester selama tiga menit, polisi itu mengaktifkan sepiker ponsel dan memberikannya kepada Maharjani. Terdengar suara Ester mengatakan, “Tidak, Pak, saya tidak menahan sepeda motor Bapak. Saya hanya mengamankan.” Tapi Maharjani tidak menanggapi, lalu mengembalikan ponsel kepada Martin Aritonang.

Lantas Maharjani meminta surat dari Martin untuk keperluan visum et repertum dari dokter di rumah sakit guna melengkapi laporannya. Namun, kata Martin, visum tidak perlu, karena wajah Maharjani tidak terluka. Martin menyarankan Maharjani dan Ester berdamai, lalu Martin menelepon kepala desa untuk mediasi.

Besoknya evangelis itu kembali ke markas Polres Samosir dan bertemu dengan polisi Agus Sinaga, yang kemudian menelepon Martin. Tapi Martin tengah berada di Kecamatan Sitiotio, dan meminta Maharjani menunggu hingga pukul 16.00. Jadi, hari itu polisi belum juga menerima laporan Maharjani, karena kedua pihak yang beperkara akan didamaikan oleh kepala desa.

Malam harinya pertemuan diadakan di kantor Kepala Desa Cinta Dame. Di sana Maharjani dibujuk agar tidak melaporkan Ester dan ibunya kepada polisi. Namun, Maharjani bersikeras melakukan upaya hukum. Maka itu, hari Senin, 17 April, dia kembali mendatangi Polres Samosir untuk melanjutkan laporannya yang belum juga dicatatkan oleh polisi.

Siang hari itu, ketika Maharjani duduk menunggu untuk bertemu dengan petugas Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), empat orang polisi menghampiri Maharjani, yaitu Lister Sitorus, Fazri Lubis, Agus Sinaga, dan seorang lagi yang tidak dikenalnya. Mereka langsung menanyai Maharjani soal perkara pidana yang akan diadukannya.

“Jadi, ini yang bertelepon itu?” kata salah satu polisi kepada rekannya.

“Ya, ini orangnya,” jawab temannya.

Maharjani merasa tidak nyaman dengan cara ketiga polisi itu menanyai dirinya. Bahkan, polisi menyebut nama Maharjani dengan tidak sopan.

“Kau enggak kooperatif kau,” kata salah seorang polisi.

“Di mana saya tidak kooperatif?” kata Maharjani. “Setiap dipanggil, saya selalu datang. Saya juga sabar menunggu kalau disuruh menunggu.” Lalu Maharjani menanya marga polisi tersebut sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman, tapi ditampik.

Tidak lama kemudian Martin Aritonang datang bersama dengan polisi lain, Agus Setiawan. Setelah duduk berhadap-hadapan, Agus pun mencatat keterangan Maharjani dalam bentuk laporan polisi (LP).

Setelah LP-nya siap, Maharjani memprotes, karena tidak semua keterangannya dicantumkan dalam LP. “Saya, kan, tidak hanya diludahi, tapi juga dipukul, dimaki, dan sepeda motor saya ditahan,” katanya kepada polisi. Namun, kata Agus, nantinya hal itu bisa dimasukkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

Ternyata polisi lain yang bertugas membuat BAP juga tidak mau mencantumkan keterangan Maharjani secara lengkap. Makanya, Maharjani kembali ke bagian SPKT dan meminta Agus Setiawan melengkapi LP-nya. Lantas Agus pun membuat LP yang baru.

Polisi Agus Sinaga: Sini dulu kau! Nanti bisa dihabisi kau.


Setelah berkas LP kedua selesai dituliskan, Maharjani membacanya untuk memeriksa. Dia melihat hal memaki dan memukul sudah dimasukkan ke dalam LP. Tapi soal sepeda motornya, tertulis bahwa si terlapor “menghalang-halangi,” yang lantas diprotes Maharjani.

“Sepeda motor saya ditahan sama mereka, Pak. Artinya mereka sudah menguasai. Saya pikir, kata yang tepat bukan menghalang-halangi, Pak,” kata Maharjani kepada Agus Setiawan.

Tiba-tiba polisi Agus Sinaga marah mendengar perkataan Maharjani itu. “Maharjani! Sini dulu kau!” kata Agus Sinaga dengan nada bahasa yang tidak sopan selaku polisi pengayom masyarakat. “Kau nanti bisa dihabisi kau,” katanya kepada Maharjani.

Mendengar bentakan dan ancaman oknum polisi, Maharjani melongo ketakutan. Lalu, dengan kaki dan tangan yang mulai gemetar, dia minta ampun.

Dia membungkuk dan mengangkat sembah dengan merapatkan sepuluh jari tangannya di atas kepala. “Ampun, Bapa. Ampun, Bapa. Saya pulang saja,” katanya kepada polisi Agus Sinaga. Lalu penginjil itu buru-buru keluar dari markas Polres Samosir.

“Mendengar kata-katanya, ‘Bisa dihabisi kau,’ saya jadi takut,” kata Maharjani kepada BatakRaya.com. “Sendirian pula saya di situ, dan mereka semua tampak emosi kepada saya. Saya langsung terbayang kasus Jenderal Sambo. Saya benar-benar ketakutan, makanya saya langsung pergi. Tidak peduli lagi saya dengan laporan pengaduan itu.”

Setelah meninggalkan kantor polisi, dia duduk di kedai kopi di Kota Pangururan untuk menenangkan pikiran. “Sebenarnya saya mau langsung pulang ke rumah. Tapi karena rasa takut, saya tidak kuat membawa sepeda motor,” katanya.

Pada saat itu, salah satu polisi sempat datang ke warung kopi tersebut dan membujuk Maharjani agar kembali ke ruangan SPKT untuk melanjutkan laporannya. Namun, Maharjani tidak mau.

Respons polisi dan Ester Sinaga.


Pada 26 April, batakraya.com menjumpai tiga anggota Polres Samosir, yaitu Martin Aritonang, Agus Sinaga, dan Agus Setiawan, untuk mengecek kebenaran pengakuan Maharjani Malau.

Agus Sinaga membantah berkata kasar dan mengancam penginjil itu. Tapi Agus mengaku sempat marah, karena Maharjani tidak mau meneken LP kedua dengan alasan akan minta pendapat bapaknya terlebih dahulu. Setelah Maharjani meninggalkan kantor polisi karena ketakutan, Agus langsung melaporkan hal itu ke Propam Polres Samosir.

Menurut Martin Aritonang, seluruh pengaduan Maharjani telah dimasukkan ke dalam LP, dan LP tersebut sudah dikirim Polres Samosir kepada Polda Sumatra Utara. Yang menjadi pokok masalahnya, kata Martin, ialah tuduhan pencurian. Adapun pemukulan, penghinaan dengan cara meludahi, dan penguasaan motor merupakan unsur penyerta.

Agus Setiawan mengatakan pasal pidana yang dikenakan dalam perkara ini ialah pasal soal fitnah. Akan tetapi, katanya, polisi menggunakan LP pertama, karena LP kedua belum sempat diteken oleh Maharjani.

Kemudian batakraya.com menghubungi terlapor Ester Sinaga melalui WhatsApp. Dia mengaku telah memaki dan meludahi Maharjani, dan membawa sepeda motor Maharjani. Ester juga tidak membantah bahwa ibunya menampar Maharjani.

Pada Minggu, 30 April, evangelis Maharjani Malau menelepon Batak Raya dan mengatakan dia sudah berangkat ke Kota Medan untuk mengadukan oknum polisi itu kepada Propam Polda Sumatra Utara. Dia merasa perlu melakukannya dengan tujuan agar anggota Polres Samosir memperbaiki diri menjadi lebih profesional dan bersikap santun ketika berbicara dengan siapa pun yang datang berurusan di kantor polisi. ❑

iklan

iklan

Postingan populer dari blog ini

Ayah Bupati Samosir: Harusnya Saya Dikonfirmasi, Bukan Bupati

Pangururan, Batak Raya — Wartawan bercekcok mulut dengan Ober Gultom, ayah Bupati Samosir, dalam grup WhatsApp. Lantas ketua organisasi media siber menyurati Bupati untuk konfirmasi. “Jadi, kalau nanti ada keluarga saya berdebat dengan mereka, lalu saya juga yang dikonfirmasi? Wah, keterlaluan!” kata Bupati Vandiko Gultom. Ober Gultom, ayah Bupati Samosir, Vandiko Gultom. (Foto: arsip pribadi) Dalam beberapa hari terakhir ini sejumlah media siber di Provinsi Sumatra Utara memberitakan Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Samosir, Tetty Naibaho, yang mengirim surat konfirmasi bertanggal 30 Mei 2022 kepada Bupati Samosir, Vandiko Gultom, tentang ayahnya sendiri, Ober Gultom, yang berbantah dengan wartawan di sebuah WhatsApp group (WAG) bernama Samosir Negeri Indah (SNI). Dalam surat yang juga ditujukan kepada Sekda Kabupaten Samosir itu Tetty menulis, “… Saudara Ober Gultom yang memberikan komentar terkait pemberitaan ‘Sampah di TPA’ dengan mengusulkan salah seorang tena

Sipalangnamora dan Datu Tambun

Riwayat Raja Sipalangnamora, nenek moyang marga Gultom, dan kisah salah satu putranya, Datu Tambun, pernah saya tulis bersama dengan wartawan Ramses Simanjuntak (almarhum) dalam dua artikel berjudul “Sipalangnamora dan Lima Kendi” serta “Sipalangnamora yang Kaya, Datu Tambun yang Sakti” dalam tabloid Pos Roha pada Juni 2015. Sebagian isi kedua tulisan itu diterbitkan ulang di Batak Raya seperti berikut. Keturunan Raja Sipalangnamora Gultom menziarahi pusara Sipalangnamora dan keempat putranya di Onanrunggu, Samosir, pada 2015, dan kemudian membangun kuburan leluhur mereka itu. (Foto: tabloid Pos Roha/reproduksi) Kata batak , dengan huruf b kecil, dalam ragam bahasa sastra memiliki makna ‘petualang’ atau ‘pengembara’, dan kata turunan membatak berarti ‘bertualang’ atau ‘mengembara’. Klan besar Gultom juga melanglang hingga beranak pinak di pelbagai wilayah, seperti halnya marga Batak Toba yang lain. [Baca juga: Miranda Gultom Bicara Marga, Gelar Sarjana, dan Suara Keras Orang Batak

Miranda Gultom Bicara Marga, Gelar Sarjana, dan Suara Keras Orang Batak

Pangaribuan, Batak Raya—Miranda Swaray Goeltom, yang lebih dikenal dengan nama Miranda Gultom, 73 tahun, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, bercerita tentang adanya orang Batak yang malu memakai marganya. Dia juga mengimbau generasi muda Batak agar bekerja menjadi petani, dan jangan semata-mata mengejar gelar kesarjanaan atau menjadi pejabat. Miranda Gultom (kiri) dan Bupati Samosir, Vandiko Gultom, dalam acara Punguan Raja Urang Pardosi di Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara. (Foto: Raidon Gultom) Pesan itu disampaikan Miranda, perempuan Batak yang berhasil menjadi profesor ekonomi di Universitas Indonesia, ketika berpidato mewakili pihak boru dalam acara pelantikan pengurus Punguan Raja Urang Pardosi (Datu Tambun), sebuah organisasi marga Gultom, di Desa Parlombuan, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatra Utara, 29 Juli 2022. Sebelum berbicara tentang kedua topik tersebut, marga Batak dan gelar akademis, Miranda terlebih dahulu mengata